Senin, 15 Desember 2014

SIASAT IRASIONAL SEORANG SUPORTER

“Persib Juara, hidup Persib, duh bagja lur” seorang sahabat mengirim pesan ‘kebahagiaan’ via watsapp ke telfon genggam saya tepat sehari setelah Persib menjuarai ISL 2014. Padahal ia sedang berada jauh di negeri Belanda. Tidak hanya teman saya saja yang berbahagia, Saya juga tentunya.Kemenangan Persib memuncaki LSI 2014 di Jakabaring, Palembang tempo hari telah membawa suatu perasaan yang aneh di hati. Saya telah lama merantau dari Bandung, namun tiba-tiba harus mengaktifkan identitas diri sebagai orang Bandung. Identitas ke-Bandung-an tersebut muncul semakin hebat saat Persib menjuarai LSI 2014 tempo hari. Ada apa dengan Persib? Meski tak sempat menyaksikannya secara langsung karena alasan duniawi di pekerjaan, namun saya merasa larut dalam hingar-bingar pertarungan di stadion Jakabaring tempo hari tersebut.Inilah momen yang paling mendebarkan buat saya, bahkan saya ingin berkata jujur, bahwa saat mata terus memelototi layar TV, dalam waktu yang bersamaan saya terus memanjatkan doa untuk Persib. Itulah doa tertulus yang pernah terucap di sepanjang hidup yang saya jalani. Tak ada suka cita terhebat selain keberhasilan Persib menjadi Juara di LSI 2014 tempo hari, dan saya tak heran bila itu dirayakan dengan penuh euforia oleh semua pencinta Persib di manapun. Ini bukan karena Persib sudah 19 tahun tidak pernah juara, tapi juga oleh sebab Persib sudah menjadi bagian dari identitas Orang Bandung, atau Orang Sunda pada umumnya.Seorang sahabat terheran-heran dengan Orang Sunda saat menceritakan pengalamannya melakukan penelitian di sekitar pedesaan Jawa Barat. Sahabat saya ini iseng bertanya kepada seorang bapak tentang sepakbola. “Bapak hobi sepak bola?” ujarnya. “Ah, Neng, bapak mah tidak hobi sepak bola, mah,” kata si Bapak. Sahabat saya bertanya lagi, “Kalau Persib gimana, Pak?” Si Bapak menjawab tegas,”Nah kalau Persib mah bapak suka, Bapak pasti nonton kalau disiarkan di teve.” Sahabat saya heran tak habis pikir, betapa Persib telah telah ditempatkan secara khusus dan menggurat mengakar di hati si Bapak, mengatasi makna ‘sepakbola’ itu sendiri. Beberapa teman yang sedang bekerja dan bermukim di luar negeri pun bahkan rela merogoh uang yang tak sedikit hanya demi menjadi saksi perjuangan Persib saat berlaga di semi final dan final ISL 2014 tempo hari. Momen tersebut seolah perayaan sakral, hari raya dalam versi lain, yang mempersatukan, sekaligus menjadi magnet para suporter perantau Sunda untuk bergerak ‘pulang’, mengenang tanah kelahiran dan menjaga ‘identitas’ kesundaannya. Pesta kemenangan Persib Juara pun begitu hebohnya, para pemain dan piala diarak dan disambut gegap gempita, macet total paling parah terjadi selama sejarah Bandung berdiri karena tiba-tiba jalanan Bandung bukan lagi lagi milik Dinas Pekerjaan Umum Pemkot Bandung, tapi milik para bobotoh yang umumnya dari kelompok Viking Persib Club.Heboh bagai pesta rakyat, semua tumpah ruah memadati jalanan.Ibu saya bahkan berujar, “Pokona mah heboh, nu ti gunung pun turun ka jalan, moal aya ieu mah” (pokoknya heboh, bahkan penduduk dari gunung pun pada turun, gak ada duanya pokoknya) Ada hal yang sulit dijelaskan tentang Persib ini, namun kita semua, khususnya suporter seperti saya, mesti bersepakat bahwa Persib bukan hanya sekedar sebuah klub sepakbola. Persib adalah identitas yang dibangun tanpa lelah, penuh pengorbanan, dan penuh siasat untuk mencintainya. Pendapat yang sama mungkin juga berlaku bagi suporter fanatik lainnya. Jakmania, Persipura Mania, Pasoepati, Brajamusti PSIM, Bonek Mania, dan Mania lainnya saya selalu menghormati pilihan mereka tentang arti mencintai Bagaimana identitas itu terbangun hingga mengakar di hati yang begitu mendalamnya? Saya akan membagi kisah pengalaman pribadi, dari masa kecil hingga sekarang ini, tentang bagaimana kecintaan terhadap Persib memang bagian dari ‘perjalanan’ kehidupan. Perjalanan kehidupan saya secara khusus, dan perjalanan hidup jutaan pendukung Persib lainnya secara umum. SIASAT-SIASAT SUPORTER Mencintai Persib itu warisan dari orang tua, bahkan kakek saya pun menjadi pendukungnya. Saya pertama kalinya menginjakan kaki di Stadion Utama Senayan (GBK) pada tahun 1980-an saat Persib dikalahkan PSMS Medan lewat adu penalti di Final Perserikatan. Waktu itu diajak Bapak, yang menyewa mobil bersama teman-temannya. Sejak saat itu, saya mengusahakan sendiri, dengan segala cara, dengan atau tanpa Bapak, untuk selalu hadir ke stadion bersama teman sebaya di tempat saya tinggal. Saya tinggal di sebuah ‘gang’ di perkampungan kota, di sekitar Gatot Soebroto, tepatnya di Kelurahan Cibangkong, Kecamatan Batununggal, Kotamadya Bandung. Gang pemukiman kota dengan jejaring interaksi penghuninya adalah tempat tinggal kami, tempat kami tumbuh, bersekolah, bermain, berkelahi, dan tempat kami merintis berdirinya kelompok suporter terorganisir. Sejak kecil saya dan sahabat sesama pendiri Viking selalu bersama bersiasat untuk menyaksikan Persib, baik saat bermain kandang maupun tandang. Segala cara kami lakukan untuk bisa menonton langsung ke stadion karena bapak tak selalu setiap saat bisa pergi membawa saya ke stadion, itu membuat saya dan teman sebaya berangkat sendiri ke stadion. Apalah yang bisa diharapkan dari anak SD waktu itu, uang jajan dari ibu tentunya tidak selalu mencukupi untuk membeli karcis, jalan keluarnya kami harus bersiasat. Siasat umum yang banyak digunakan oleh saya dan anak seusia SD waktu itu adalah siasat ‘ngiring pak’. Siasat ‘ngiring pak’ yang dimaksudkan adalah sebagai berikut. Kami semua akan menunggu di pintu masuk stadion, menunggu antrian orang dewasa berkarcis, lalu memohon dengan setengah memelas kepada mereka untuk ikut bersamanya menuju pintu masuk. Modus ini membuat kami seolah anaknya yang sengaja dibawa dari rumah untuk menonton Persib bertanding. Syarat siasat ‘ngiring pak’ itu hanya dua: ‘penampilan’ dan ‘percaya diri’: baju harus terlihat rapih, bersepatu atau sandal, dan badan bersih. Biar apa? Biar penjaga pintu stadion percaya bahwa kami memang benar anaknya. Tak selalu berhasil, kerap siasat kami ketahuan, namun kegagalan satu siasat melahirkan siasat lain. Ini membuat kami kreatif, nekad, dan terkadang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Ada banyak siasat lain selain ‘ngiring pak’: melompat tembok stadion yang tinggi, menjebol pintu masuk bersama-sama massa orang dewasa lain yang tak berkarcis (siap-siap saja kena pentung aparat). Siasat lain yang agak berbahaya adalah naik ke pohon cemara di sekitar stadion siliwangi, pohonnya menjulang, kami terpaksa naik biar bisa nonton Persib secara gratis. Tidak semua pohon bisa dinaiki karena posisi atau ketinggiannya tidak ideal. Sebuah pohon yang ideal ditandai oleh banyaknya sandal atau sepatu di bawah batangnya. Hal itu terjadi karena si pemanjat melepas alas kakinyadibawah pohon, biar tak licin saat naik. Suatu ketika saya kehilangan satu sandal di dalam stadion karena dipakai melempar wasit saat kesal, akibatnya saya harus nyeker karena satu sendal lagi saya lempar juga sebab tak ada guna lagi. “Aha, tiba-tiba terlintas di otak saya, saya harus segera keluar lima menit menjelang pertandingan berakhir, untuk segera mencari pengganti sandal saya, mencari di bawah pohon cemara yang banyak orang naik di atasnya”. Benar saja, saat menjelang pertandingan akan berakhir, kira-kira 5 menitan lagi, orang-orang di atas pohon masih masih asik bersorak sorai, mereka mengabaikan alas kakinya yang dibawah. Ini membuat saya leluasa memilih sandal yang pas dengan ukuran kaki (dan bagus tentunya). Setelah dapat pilihannya lalu saya secepat kilat berlarian dengan teman, menjauhi pohon tersebut diiringi teriakan si pemilik “Hey, goblog, eta sendal aing, eh bangsat!” teriaknya sambil marah namun apa daya ia tak bisa berbuat apa-apa karena masih diatas pohon nan tinggi. Saya pun dan sahabat masa kecil berlari tertawa-tawa sambil teriak, “Nuhun kang!” DONT TRY THIS Menginjak SMP hingga SMA saya dan sahabat masa kecil mulai berani menonton pertandingan Persib saat tandang ke kota lain (Jakarta, Solo, Surabaya, Tanggerang, Malang, bahkan ke Sumatera). Saat perjalanan ke luar kota ini siasatnya lain lagi. Ini siasat yang tak boleh di tiru, don’t try this at home lah, rada-rada kriminil, tapi apa boleh buat karena ini keterpaksaan. Siasat ini bernama ‘darmaji’ yang tercipta karena uang dan bekal tidak cukup untuk survive di perjalanan, maklum anak sekolah. Tanyakan saja pada suporter lawas, siasat ini sudah mendarah daging dipraktekan, baik skala kecil maupun skala luas. Darmaji (singkatan dahar lima ngaku hiji) ini biasanya terjadi di warung atau rumah makan yang berlokasi di tempat bis-bis antara kota berhenti atau transit. Darmaji dimungkinkan berhasil jika penjaga warung menjadi sibuk oleh kedatangan rombongan secara mendadak, situasi memaksa suasana menjadi kalang kabut, yang diciptakan oleh serbuan suporter yang tiba-tiba turun dari bis untuk makan. Dalam kerepotan tersebut aksi darmaji bisa sukses dijalankan. “Makan apa aja” tutur si penjaga warung. “Telor, Nasi, dan Sayur” ujar suporter dengan tenangnya (padahal ayam tidak disebut, dan kadang disaku celana ada perkedel, telor asin, dan makanan lainnya buat bekal di jalan. Tapi ada juga yang bersiasat ‘bisbisbur’ (habis-habis lalu kabur) yang umumnya dipraktekan berbarengan dengan suporter ‘darmaji’. Bisbisbur ini tak bayar sama sekali (agak kejam), dimana habis makan langsung kabur mengendap ke luar warung dan sembunyi di atas bis (biasanya pura-pura tidur). Siasat lainnya adalah ‘macok bayaran’ (tidak membayarkan uang SPP sekolah untuk nonton Persib) atau siasat ‘Uniko’ (usaha nipu kolot) yakni modus minta uang pada ortu dengan modus macam-macam : beli buku, ada praktikum, study tour, dan sebagainya. “Hapunten Apa, Hapunten Mamah” ujar saya saat menulis ini Banyak pengalaman terjadi, dari suka, duka, canda, dan lara dalam menjalani hidup berpuluh tahun sebagai suporter. Segala pengalaman panjang itu telah membentuk pola dan tingkah serta sikap-sikap yang tak bisa dijelaskan nalar dan akal, khususnya oleh pihak yang tak mengalaminya. Sesekali bahkan kerap kali kami terlibat bentrokan sporadis dengan kelompok suporter lawan, dengan pedagang dan penduduk lokal, atau bahkan dengan aparat keamanan di stadion. Semua pengalaman tersebut dipraktekan dan dilanggengkan kultur jutaan suporter lainnya, hingga kami kemudian terbentuk secara alamiah untuk menjadi fanatis, senang bergerombol, solid, dan militan. Di luar hal tersebut, saya ingin mengatakan bahwa menjadi suporter itu pilihan yang beresiko, mengandung ekses baik dan buruk, berimplikasi pada stabilitas keamanan sebuah kota, serta sekaligus mengandung rasa takjub ; tentang cinta yang tak bisa tergantikan walau terlihat irasional. Jayalah Suporter Indonesia.

Senin, 31 Oktober 2011

whose woods are these?


Mereka campakan ke bui, dengan ancaman paling keji,
Orang miskin yang menghimpun ranting kering untuk kayu api;
Tapi mereka biarkan pengusaha kayu kaya raya bebas merdeka,
menebang rebah dan merampoki pepohonan yang hidup sentosa (Peluso 2006:24)

Keunikan dan Eksotisme? Etnik Hmong di Vietnam Utara.


People’s conceptualization and orderings of space can be useful toward understanding the creation of locative identities and ideas about relations with outsiders (Fox 1997:4)

Berdiri diatas sebuah teras persawahan hamparan menguning padi, seorang wanita etnis Hmong di dataran tinggi Vietnam Utara, menjelaskan apa yang terjadi pada ‘masa lalu-nya’ ketika cara produksi pertanian modern dipromosikan oleh negara sosialis di negara itu. Sambil mengangkat bahu, dia mengatakan bahwa keluarganya belum benar-benar berubah selama ini, meski diakui bahwa komunitasnya tetap ‘dibawah radar' pengawasan pemerintah dan berusaha menghindari tatapan awas mata pejabat negara dari dataran rendah.Dengan cara tersebut Hwong bisa melanjutkan hidupnya dan bekerja mengolah tanah mereka seperti yang telah mereka lakukan untuk generasi mendatang.

Etnik Hmong telah bekerja dengan berbagai peluang ekonomi, yang datang dengan berbagai cara kehadapan mereka di sepanjang lintasan waktu sejarah; dari produksi opium pada era kolonial, produksi barang dan kain untuk pariwisata, sampai budidaya cardamom untuk pasar di Cina. Keputusan Etnik Hmong untuk terlibat atau menolak dalam setiap kesempatan ekonomi yang menghampirinya, amat tergantung pada percampuran seleksi adaptasi pelaku di ranah lokal, budaya, sejarah, dan peluang yang timbul di setiap momen sejarah.

Sekitar lima abad lalu, bangsa Han di Cina bermigrasi ke pegunungan barat daya. Selanjutnya pada abad ke-18 dan 19, bersamaan dengan kerusuhan sosial yang terjadi di Cina Selatan kelompok minoritas dari pegunungan di provinsi Sichuan, Guizhou, Hunan, Guangxi dan Yunnan bermigrasi lebih jauh ke selatan. Sebagian, yakni Etnik Hmong, menetap di jajaran semenanjung Indocina, mereka mempraktekan pertanian subsisten, dengan kombinasi menanam opium. Selama masa perang Perancis, sebagian Hmong bergabung dengan kekuatan komunis Vietnam, sementara yang lain bergabung ke sisi Prancis. Akibatnya setelah kemenangan diraih komunis (Viet˙Minh) Etnik Hwong pendukung Prancis bermigrasi ke Laos dan Vietnam Selatan, dan sisanya harus menerima hidup di bawah pemerintahan komunis. Sejak tahun 1954 atau sejak Vietnam bersatu pada tahun 1975, disaat Vietnam Utara yang komunis berhasil menyatukan negara dengan mengusir tentara AS di Selatan, maka Hwong disatukan dibawah negara komunis dan menjadi bagian dari ekonominya.

Secara historis, sebagian besar Etnik Hmong adalah peladang berpindah, pemburu dan peramu, dan hanya sedikit petani sawah irigasi. Di bawah tekanan negara Vietnam, Etnik Hmong telah dimukimkan untuk tidak berpindah-pindah, diintegrasikan ke dalam jaringan perdagangan komersial, pariwisata, dan dikenalkan praktek pertanian modern dengan penggunaan pupuk kimia (Turner and Michaud dalam Caouette and Turner 2009:45-48).

Hingga tak heran, bila kita mengunjungi distrik Sa Pa di Vietnam Utara, dan berharap bertemu dengan etnik minoritas yang penuh keaslian sepertii yang ditawarkan dalam brosur wisata, maka yang di dapat adalah fenomena lain. Hmong yang kita temui, dengan segala aktivitasnya saat menjajakan suvenir, nampak fasih bercas-cis-cus dengan bahasa asing. Keaslian adalah imaji dan keunikan serta eksotisme yang menyertainya adalah ‘hidden agenda’ pihak luar untuk kepentingan denyut wisata setempat.

Rabu, 19 Oktober 2011

State And Indigenous People


..... that only states have the material and coercive resources to move people around and build settlements.

Tengger - Bromo


Bahkan Ketika Ia Bereaksi, Warga Tengger Menyikapinya Dengan Bijak, Tidak Lantas Meninggalkanya(Seperti Himbauan Aparat Pemerintahan) Kesetiaan Itu Penting ... Karena Ia Memberi Hidup, Maka Bijaksana Bila Selalu Ada Di Relungnya.

Tengger-Bromo


Diagung-agung pada-Nya, Dinaungilah pemuja-Nya, Harmoni Alam dan Tradisi Agraris Bersahaja Di Kakinya,

Jumat, 02 April 2010

A Theory of Access - Ribot and Peluso. 2003

Ada beberapa hal penting mengenai istilah akses : Yang utama adalah bahwa akses secara frekuentif digunakan dalam analisa mengenai sumber daya alam dan property. Akses didefinisikan sebagai kemampuan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan dari ‘sesuatu’ – termasuk objek-objek material (suatu barang atau benda), orang-orang, institusi, dan simbol-simbol. Dari hal itu nampak bahwa akses lebih fokus pada pengertian ‘kemampuan’ - yang jika diperluas maka akses merupakan hak untuk memperoleh keuntungan dari suatu barang atau benda tersebut. Dengan merujuk pada definisi tersebut maka akses tersebut lebih mengacu sebagai sebuah bundel kekuasaan-kekuasaan ketimbang pada gagasan sebuah ‘property’. Formulasi mengenai akses tersebut dengan demikian mencakup sebuah relasi sosial yang mempengaruhi atau memungkinkan seseorang atau kelompok memperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumber daya ketimbang relasi kepemilikan itu sendiri.

Konsep akses pada akhirnya ingin melihat dan menyelidiki ‘siapa yang secara aktual memperoleh keuntungan dari sesuatu tersebut dan melalui proses seperti apa mereka mendapatkan keuntungan tersebut’. Akses dengan demikian menyimpan makna empiris – yang fokus pada issue ‘siapa yang mendapat kan (tidak mendapatkan) pemanfaatan tersebut? dengan cara apa?

Perbedaan orang atau institusi pemegang kekuasaan akan menggambarkan perbedaan pula pada saat ‘bundel kekuasaan’ tersebut ditempatkan dan dikuasakan ke dalam jaringan kekuasaan yang dibentuknya. Orang-orang atau institusi memiliki perbedaan posisi dalam relasinya terhadap sumber daya alam di dalam beragam momen kesejarahan dan skala geografis tertentu.
Analisa akses ini penting untuk memahami mengapa sebagian orang atau institusi memperoleh keuntungan dari sebuah sumber daya alam atau mengapa mereka memperoleh atau tidak mempeoleh haknya terhadap sumber daya tersebut.

Analisa akses ini penting untuk memahami mengapa sebagian orang atau institusi memperoleh keuntungan dari sebuah sumber daya alam atau mengapa mereka memperoleh atau tidak mempeoleh haknya terhadap sumber daya tersebut.

Ada perbedaan antara analisa akses disatu sisi dengan analisa property di sisi lain. Jika property lebih pada pemahaman pada persoalan ‘klaim’ terhadap hak, maka studi akses lebih pada bagaimana memahami beragam cara orang-orang memperoleh keuntungan dari sumber daya alam tersebut yang tak dibatasi pada relasi terhadap property.
Beberapa hal penting yang mesti diketahui tentang teoritisasi akses adalah bahwa ’akses’ harus diperbandingkan dengan ‘property’ - sekaligus keduanya mesti diletakan sesuai dengan tempatnya. Pertama baik akses maupun properti memandang penting relasi diantara orang terhadap ‘keuntungan dan nilai’ baik itu derma, akumulasinya,transfer, dan distribusinya. Keuntungan amatlah penting karena orang , institusi, atau masyarakat hidup untuk hal tersebut, karena keuntungan tersebut terkadang mereka bertikai atau bekerja sama untuk hal itu.

Untuk memahami perbedaannya maka kita harus membedakan antara kemampuan dan hak. Kemampuan berhubungan erat dengan kekuasaan, yang didefinisikan dalam dua cara : pertama kemampuan merujuk pada kapasitas aktor untuk mempengaruhi praktek-praktek dan gagasan orang lain (Webber 1978 dan Lukes 1986). Kedua kekuasaan sebagai sesuatu yang inheren yang muncul dari orang-orang yang baik sengaja atau tidak timbul dari efek sebuah hubungan-hubungan sosial (Foucault 1978,1979).

Akses adalah semua makna-makna kemungkinan, dimana orang mampu memperoleh keuntungan dari ‘sesuatu’. Sementara property lebih pada pengertian klaim dan hak yang terkait pada hukum, kebiasaan, atau konvensi yang bisa saja tak setara. Beberapa tindakan bisa saja dianggap ilegal menurut hukum negara, atau mendapat sangsi menurut kebiasaan atau konvensi. Akses berbeda karena ia mungkin saja tanpa sengaja memiliki akibat terhadap hak kepemilikan atau bisa saja akses tertentu tak mendapat sangsi secara sosial didalam wilayah hukum, kebiasaan, atau konvensi tertentu.

Pembahasan mengenai berbagai dimensi tentang akses berhubungan dengan penggunaan definisi dalam studi mengenai property secara luas. Property sebelumnya cenderung terkait dalam berbagai literatur dan penggunaannya di keseharian, dengan gagasan tentang ‘ownership atau kepemilikan’ atau terkait dengan sesuatu yang didefinisikan oleh hukum, adat kebiasaan, serta konvensi. Namun pada perkembangannya kemudian berubah secara radikal. Perubahan konsep mengenai property itu salah satunya dengan meluaskan gagasan tersebut dengan relasi-relasi politik ekonomi serta diskursus strategi dalam membentuk aliran keuntungan. Dapat disimpulkan akhirnya bahwa seperti pemahaman property, maka relasi akses pun selalu berubah, tergantung kepada posisi individu atau kelompok dan kekuasaan di dalam beragam relasi sosial. Singkatnya, orang bisa saja mendapatkan kekuasaan lebih di dalam satu momen kesejarahan tertentu sementara yang lain tidak memiliki kekuasaan tersebut.

Dengan perspektif politik ekonomi misalnya muncul isu tentang kontrol akses dan pemeliharaan akses dalam berbagai tindakan sosial. Kontrol terhadap akses adalah kemampuan untuk memediasi akses pihak lain. Kontrol sendiri bisa diartikan sebagai sesuatu yang merujuk pada pemeriksaan dan pengarahan terhadap sebuah tindakan yang berfungsi atau memiliki kekuasaan dalam mengarahkan dan meregulasikan kebebasan dalam tindakan (Rangan 1997:72).

Pemeliharaan (maintenance) terhadap akses sendiri memerlukan ‘pengerahan’ sumber daya dan kekuasaan untuk menjaga sebuah sumber daya akses yang terbuka. Pemeliharaan dan kontrol menjadi saling melengkapi, keduanya merupakan posisi sosial yang secara temporal terkristalisasi di sekitar makna sebuah akses. Keduanya baik kontrol dan pemeliharaan merupakan sebuah relasi-relasi konstitutive diantara para aktor dalam relasinya terhadap pemberian, pengaturan, dan pemanfaatan sebuah sumber daya alam, dimana terkadang pemaknaan dan nilai yang menyertai sumber daya kerap berkontestasi : pada persoalan siapa yang berhak mengontrol dan siapa yang berhak mengatur dan memelihara akses tersebut.Dalam pengertian ini gagasan mengenai property tersusun kedalam dua bagian yakni hak dan kewajiban yang terlihat berbeda secara paralel ketika diterapkan.

Kontrol dan Maintenance paralel dengan pikiran Marx tentang relasi sebuah kapital dan tenaga kerja, yang merujuk pada sebuah relasi yang menggambarkan siapa aktor yang memiliki modal dan siapa yang bekerja pada pemilik modal atau pemilik alat produksi. Paralel dengan relasi demikian adalah relasi diantara aktor yang mengontrol akses pihak lain dan mereka yang mesti mengatur akses yang dimilikinya. Dalam hal ini tergambar relasi pembagian sebuah keuntungan yang bisa di negosiasikan. Dalam hal pengaturan akses maka aktor yang subordinat berperan mentransfer keuntungan kepada pihak pengontrol. Mereka mengerahkan sumberdayanya untuk keuntungan pihak lain dalam satu tujuan mendapatkan keuntungan buatnya. Analisa tentang kelas menjadi penting karena muncul persoalan segelintir aktor bekerja sama dan bersaing untuk mengontrol dan memaintenance sebuah akses.

Ada pihak yang dominan yang memiliki ‘bundel kekuasaan’ disatu sisi dan aktor subordinate di sisi lain. Keberadaan kerangka pikiran politik ekonomi ini memberi model teoritis pada perubahan sosial, yang menurut Marx relasi dan perbedaan sosial muncul dari kerja sama atau konflik dalam memperoleh keuntungan-keuntungan (value), dan hukum serta aturan mungkin dibentuk dari relasi ini.


Struktur dan Relasionalitas Mekanisme Akses
Struktur dan relasi sebuah mekanisme akses harus dipahami dengan melihat bahwa kemampuan memperoleh keuntungan itu dimediasikan oleh beragam hambatan yang ada, oleh kerangka politik ekonomi dan kultural tertentu disaat akses terhadap sumber daya tersebut diusahakan. Menurut Blaikie tentang kualifikasi sebuah akses, maka kapital dan identitas sosial berpengaruh pada siapa yang diprioritaskan terhadap akses sumber daya alam. Atas pikiran Blaikie tersebut maka penulis menyatakan bahwa ada nuansa bagaimana teknologi,kapital, pasar, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan relasinya dapat membentuk dan mempengaruhi sebuah akses.

Teknologi paling tidak mempengaruhi pada kemampuan daya jangkau seseorang atau kelompok masyarakat terhadap sumber daya alam. Beberapa sumber daya misalnya tidak dapat dimanfaatkan tanpa penggunaan peralatan teknologi, dan ketika meningkat kemampuan teknologi maka dimungkinkan seseorang atau kelompok mendapatkan keuntungan ketika mampu memanfaatkan sumber daya tersebut.

Berikutnya 'Kapital' jelas sekali faktor ini punya peran besar menentukan siapa yang mampu atau tidak mengakses sumber daya alam. Kapital mampu mengontrol dan mengatur akses seseorang atau kelompok masyarakat (blaikie). Kapital mempengaruhi terjadinya eksplorasi, produksi,konversi lahan, mobilisasi tenaga kerja, dan beragam proses yang mempengaruhi perubahan lingkungan secara fisik. Kapital menjadi faktor paling bertanggung jawab dalam perubahan landscape sosial,kultural, ekonomi, dan lingkungan alam dalam perspektif ekonomi politik.

Berikutnya akses pasar, mempengaruhi kemampuan mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam dalam berbagai cara. Secara umum diartikan dengan kemampuan seseorang atau kelompok untuk mendapatkan keuntungan, kontrol , dan maintain ketika masuk ke dalam proses pertukaran ekonomi. Sebuah landskap bisa berubah ketika sebuah komoditas tanaman tertentu menjadi diminati pasar. Maka kemudian akan terjadi dimana masyarakat bisa saja menjadi tak terkendali membuka hutan saat tanaman tertentu laku dipasar – lokal dan global -. Para pedagang dan pendatang kemudian masuk ke wilayah tersebut, membeli tanah dan menanaminya dengan karet. Persoalan peralihan lahan mengemuka, masyarakat aslki lalu biasanya berubah ketika pasar bersentuhan dengan kehidupan hariannya. Pasar tak saja merubah lanskap secara fisik, namun mempengaruhi pula relasi sosial, ekonomi, dan kultural kelompok-kelompok masyarakat tertentu dalam berbagai struktur dan beragam prosesnya.

Akses terhadap tenaga kerja dan kesempatan kerja itu sendiri juga mempengaruhi siapa yang diuntungkan dengan sumber daya alam. Melalui akses kontrol terhadap tenaga kerja siapun akan mendapat keuntungan dari sumber daya alam ketika komodifikasi sebuah produk memerlukan pengerahan kerja terhadap lingkungan alam. Pekerja menjadi mesin keuntungan pemegang kontrol kapital yang terikat dengan teknologi dan pasar komoditas, di dalamnya muncul relasi patronase, patron dan klien dalam bentuk buruh dan majikan dalam relasi kerja.

Akses terhadap pengetahuan – juga mempengaruhi tentang siapa yang akan mendapat keuntungan dari suatu sumber daya alam. Termasuk didalamnya kepercayaan, kontrol ideologi, dan diskursus praktek-praktek kehidupan menjadi faktor yang bisa menegosiasikan sistem makna dan perubahan bentuk-bentuk akses. Sebagian jenis sumber daya alam tertentu misalnya tidak hanya bisa diakses melalui faktor ekonomi dan klaim moral untuk mendapatkan hak subsistensi, tapi hal itu juga bersifat sosial, politis, dan punya tujuan ritual yang direpresentasikan kedalam kekerabatan, relasi kekuasaan, atau harmoni ritual (Peluso 1996).

Selanjutnya akses sebagai sebuah discourse (diskursus) merupakan istilah paling mendalam yang secara keseluruhan masuk kedalam framework akses sumber daya. Isu tentang perlindungan lingkungan menjadi contoh betapa amat berkuasanya NGO’s internasional dan aktor lainnya menciptakan universalisasi kategori dan menaturalisasikan intervensinya terhadap seluruh dunia. Akses sumber daya alam dibentuk dengan cara yang dilakukan oleh kekuasaan yang mampu memproduksi kategori-kategori dan pengetahuan (Foucault). Status sebagai ahli kemudian membawa otoritasnya untuk memanipulasi kepercayaan pihak lain untuk mengikuti jalan pikirannya dalam hal pengakategorian akses sumber daya alam dan pemanfaatannya.Laporan para ilmuwan yang terhubung dengan aktivitas manusia terhadap perubahan ekologis sering menjustifikasi kontrol negara kepada sumber daya alam.

Berikut akses tehadap otoritas – juga mempengaruhi kemampuan individu dalam mendapat keuntungan dari sebuah sumber daya alam. Akses terhadap otoritas menjadi titik penting di dalam jejaring kekuasaan yang memungkinkan penduduk memperoleh keuntungan dari sesuatu ‘barang’ atau sumber daya.

Kemudian akses terhadap identitas sosial – sangat mempengaruhi distribusi keuntungan dari sebuah barang atau sumber daya. Akses sering dimediasi oleh identitas sosial, termasuk kelompok umur,gender,etnisitas, religi, status, profesi, tempat tinggal, tingkat pendidikan, atau atribut lain yang diakui oleh identitas sosial (Moore 1986, dll)

Lalu terakhir adalah akses terhadap sumberdaya khusus seperti hak pada aktivitas memancing, berburu, dan meramu juga telah menjadi wacana dalam kelompok masyarakat asli untuk menegosiasikannya dengan state atau otoritas tertentu. Kadang kehususan iri dijadikan taktik oleh kelompok tertentu untuk mendapatkan akses terhadap sebuah kawasan dan sumber daya alam lainnya. Issue mengenai indigenous people dengan klaim serta pengakuan atas identitasnya kadang dijadikan taktik oleh lembaga konservasi untuk mendapatkan akses terhadap kawasan hutan dalam wacana perlindungan alam.

*** 2010 sebagai tugas review kuliah ekologi manusia, pasca sarjana departemen antropologi, UI.

Minggu, 22 November 2009

Lebak Bulus Undercover


Sebuah sore, di awal februari 2008, di Stadion Lebak Bulus dalam pertandingan Persija melawan Persib. Ini pertandingan bola live pertamaku. Aku bukan penggemar dan sejujurnya tidak tahu apa-apa tentang sepak bola. Tetapi aku bersama seseorang yang bercerita tentang ketakjubannya menonton pertandingan bola pertamanya dalam kenangan gandengan tangan ayahnya - saat ia duduk di kelas tiga SD, dan sejak itu pula ia tidak pernah melewatkan pertandingan yang melibatkan tim kotanya,Persib Bandung. Sepak bola dan Persib menjadi bagian dari kesehariannya di gang yang kemudian melahirkan kelompok suporter terbesar dengan anggota lebih dari 70.000 orang: Viking Persib Club.

Masalahnya, Lebak Bulus sama sekali bukan tempat yang aman untuk suporter berseragam selain oranye. Setidaknya untuk sore itu. Tiga kali terjadi tepat di belakangku orang berkelahi. Satu kalimat yang aku ingat dalam perkelahian itu adalah, “Periksa KTP-nya!” Kalau ketahuan orang Bandung, dijamin nggak selamet keluar dari stadion. Ini yang bikin aku ciut selama pertandingan dan nggak berhenti membisikkan doa, sekalipun kami dalam penyamaran kostum oranye di tribun VIP. Seseorang di sampingku, terus membisikan di telingaku, untuk tenang dan tak usah kuatir. Ia menyakinkan aku,bahwa aku aman berada di sampingnya. Akuhanya yakin, bahwa dirinya mengetahui aura kerumunan dan tau cara memilih sikap untuk tak mencelakakan kita.

Stadion bergemuruh. Lagu-lagu dukungan tim oranye menggema selain makian terhadap tim lawan. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan temanku - ia kini suamiku - dalam penyamarannya. Ia harus ekstra hati-hati: tidak boleh kelepasan bicara dengan logat Sundanya atau spontan mengaktualisasikan dukungannya pada Persib. Mungkin ia merasa bersalah harus memakai kaos oranye sore itu. Sementara tak jauh di sebelah kiri kami seorang suporter perempuan memakai kaos yang bertuliskan makian terhadap suporter Persib. Di depan kami, seorang laki-laki mengikatkan kaos biru di sepatunya sehingga selalu terinjak setiap ia melangkah. Sore itu, kiper lawan terkena lemparan batu dan bis berpelat D yang mengangkut timnya rusak berat ditimpuki batu dan segala jenis benda lainnya.

Barangkali ini bukan tentang Persija melawan Persib, karena dalam setiap nyanyian mereka, saat aku berkesempatan menonton diantara kerumunan Viking pun, selalu kedua kubu ini saling memaki baik kepada The Jak atau kepada Viking. Barangkali ini bukan tentang makna sebuah pertandingan, karena bahkan di lain hari ketika Persija melawan yang lain, tetap saja nyanyian makiannya ditujukan untuk Viking. Demikian juga sebaliknya, ketika Persib melawan Slemania di Jogja, ritual para suporter dimulai dengan membakar bendera oranye. Barangkali ini bukan sekedar tentang sepak bola karena dalam perjalanan wisata di Jogja, seorang beratribut Persib ‘disapa’ oleh anggota The Jak dan dipaksa melepas atribut birunya.Atau kisah sweeping the Jak yang dilakukan Viking di sekitaran Cihampelas, Gunung Gede Cibodas, dan disaat Bandung dipadati wisatawan Jakarta, selalu saja tergambar, bahwa ini bukan sepakbola semata. Barangkali ini tentang drama perlawanan 'pinggiran' kepada pusat kekuasaan yang menghegemoni.

Tapi yang pasti, The Jak maupun Viking telah memberi identitas kepada orang-orang muda yang selama ini tidak mendapat tempat di ruang formal karena sering dilabel dalam format serba tak teratur, tak disiplin, kerap membandel, tak didengar aspirasinya, dan tak penting. Dan stadion,kemudian menjadi arena aktualisasi diri, untuk menunjukan eksistensinya. I love the game!

- Aditya Dipta Anindita & Dodi Rokhdian

the weapon of the weak


Terdapat pergeseran modus penguasaan dan kontrol negara atas hutan dalam perjalanan sejarahnya, yakni dari sekedar menguasai spesies kayu tertentu dan tenaga kerja, menjadi penguasaan wilayah serta membatasi dan mengatur aktivitas manusia dengan sumber daya alamnya, yang kemudian menambahkan kata konservasi untuk menguatkan legitimasinya. Klaim negara dan Konservasionis (yang kadang bersekutu dalam prakteknya)menambah kekuatan legitimasinya itu dengan menyodorkan sebuah gambaran ruang abstrak atau 'peta'. Peta ini menjadi powerfull dan alat kontrol atas aktivitas manusia oleh pihak tertentu - ketika diterapkan dalam wacana teritorialisasi dan konservasi. Peta itu mereka buat sendiri, ditandai sendiri batas-batasnya, lalu mereka imajikan sendiri : siapa yang berhak ada di dalam kawasan peta tersebut, dan siapa yang tak boleh ada di dalamnya. Peta menjadi persoalan 'mengeluarkan dan memasukan' unsur tertentu dengan cara sepihak.

Jika dulu dimasa feodalisme tanah dimiliki dan dikuasai patron, lalu orang dikuasai sebagai jaminan tenaga kerja. Kemudian Belanda berkuasa, maka tanah dan hutan dikuasai untuk mengontrol tenaga kerja dalam pengambilan species tumbuhan unggul, yang laku dipasaran dunia. Di masa kini, saat feodaliseme dan jejak kolonialisme telah pergi, negara RI justru mewarisi sifat dan karaktek penguasaan masa lalu, dengan memperluas legitimasinya. Negara di masa kini telah mengambil alih peran tuan tanah (patron yang dulu mengayomi rakyat), meneruskan jejak kolonialisme Belanda, sambil meluaskan kekuasaan atas teritorialnya dengan menguasai lahan, tanah, dan kawasan hutan.

Negara selalu menetapkan batas penguasaan formal ketika mengklaim satu wilayah, sementara di tingkat lokal penguasaan lahan atau hutan kadang berdasarkan atas hukum adat atau atas dorongan kebutuhan subsisten. Rezim negara kerap mempolitisi citra penjahat hutan secara tidak sah, ia melabel mereka sebagai kriminal yang subversif, yang seolah-olah perbuatan mereka mengganggu wibawa dan otoritasnya. Dilain pihak masyarakat asli dan orang-orang yang telah hidup ratusan tahun didalamnya, kadang bertindak dan bereaksi sekedar memperpanjang hidup, ia bertindak juga sebagai wujud protes atas hilangnya akses atas sumber daya alamiahnya dan atas terancamnya subsistensi. Tindakan protes mereka sesungguhnya bukan dimaksudkan untuk menggulingkan kedaulatan negara, mereka menuntut hak, hak atas hutan yang menjadi sandaran hidup dan ekspresi kultural. Dalam wacana lokal, pemaksaan negara dan kesewenang-wenagannya ini dianggap kejahatan dan penghianatan yang tentunya menimbulkan perlawanan yang terus berproses dalam berbagai bentuk. Perlawanan yang oleh James C Scott diistilahkan dengan bentuk perlawanan sehari-hari: tanpa bentuk, tak terorganisir,gerilya diam-diam, dan perlawanan pasif lainnya.

Kamis, 19 November 2009

There is no other, there is only oneself


Wacana identitas selalu berlangsung dalam sebuah arena pertarungan politis, Ia merupakan artikulasi untuk memposisikan diri dengan pertimbangan peluang yang dimilki pelakunya saat terlibat dalam sebuah arena sosial, bisa saja kita mengatakan siapa diri kita dengan menerapkan black and with grammar - yakni klaim sepihak yang tegas, yang beroperasi dalam bingkai hitam dan putih, 'bahwa diri kita lah yang baik, orang lain jahat, kita yang pintar yang lain bodoh, lalu hanya kitalah yang beradab yang lain terbelakang. Namun dalam kenyataan sehari-hari hal demikian itu tidak harus memiliki kewajiban untuk disepakati dan diakui, akan selalu dikontestasi, dan akan selalu menghadapi perlawanan-perlawanan.“There is no other, there is only oneself facing forever the problem of one’s self discovery” .