Senin, 15 Desember 2014

SIASAT IRASIONAL SEORANG SUPORTER

“Persib Juara, hidup Persib, duh bagja lur” seorang sahabat mengirim pesan ‘kebahagiaan’ via watsapp ke telfon genggam saya tepat sehari setelah Persib menjuarai ISL 2014. Padahal ia sedang berada jauh di negeri Belanda. Tidak hanya teman saya saja yang berbahagia, Saya juga tentunya.Kemenangan Persib memuncaki LSI 2014 di Jakabaring, Palembang tempo hari telah membawa suatu perasaan yang aneh di hati. Saya telah lama merantau dari Bandung, namun tiba-tiba harus mengaktifkan identitas diri sebagai orang Bandung. Identitas ke-Bandung-an tersebut muncul semakin hebat saat Persib menjuarai LSI 2014 tempo hari. Ada apa dengan Persib? Meski tak sempat menyaksikannya secara langsung karena alasan duniawi di pekerjaan, namun saya merasa larut dalam hingar-bingar pertarungan di stadion Jakabaring tempo hari tersebut.Inilah momen yang paling mendebarkan buat saya, bahkan saya ingin berkata jujur, bahwa saat mata terus memelototi layar TV, dalam waktu yang bersamaan saya terus memanjatkan doa untuk Persib. Itulah doa tertulus yang pernah terucap di sepanjang hidup yang saya jalani. Tak ada suka cita terhebat selain keberhasilan Persib menjadi Juara di LSI 2014 tempo hari, dan saya tak heran bila itu dirayakan dengan penuh euforia oleh semua pencinta Persib di manapun. Ini bukan karena Persib sudah 19 tahun tidak pernah juara, tapi juga oleh sebab Persib sudah menjadi bagian dari identitas Orang Bandung, atau Orang Sunda pada umumnya.Seorang sahabat terheran-heran dengan Orang Sunda saat menceritakan pengalamannya melakukan penelitian di sekitar pedesaan Jawa Barat. Sahabat saya ini iseng bertanya kepada seorang bapak tentang sepakbola. “Bapak hobi sepak bola?” ujarnya. “Ah, Neng, bapak mah tidak hobi sepak bola, mah,” kata si Bapak. Sahabat saya bertanya lagi, “Kalau Persib gimana, Pak?” Si Bapak menjawab tegas,”Nah kalau Persib mah bapak suka, Bapak pasti nonton kalau disiarkan di teve.” Sahabat saya heran tak habis pikir, betapa Persib telah telah ditempatkan secara khusus dan menggurat mengakar di hati si Bapak, mengatasi makna ‘sepakbola’ itu sendiri. Beberapa teman yang sedang bekerja dan bermukim di luar negeri pun bahkan rela merogoh uang yang tak sedikit hanya demi menjadi saksi perjuangan Persib saat berlaga di semi final dan final ISL 2014 tempo hari. Momen tersebut seolah perayaan sakral, hari raya dalam versi lain, yang mempersatukan, sekaligus menjadi magnet para suporter perantau Sunda untuk bergerak ‘pulang’, mengenang tanah kelahiran dan menjaga ‘identitas’ kesundaannya. Pesta kemenangan Persib Juara pun begitu hebohnya, para pemain dan piala diarak dan disambut gegap gempita, macet total paling parah terjadi selama sejarah Bandung berdiri karena tiba-tiba jalanan Bandung bukan lagi lagi milik Dinas Pekerjaan Umum Pemkot Bandung, tapi milik para bobotoh yang umumnya dari kelompok Viking Persib Club.Heboh bagai pesta rakyat, semua tumpah ruah memadati jalanan.Ibu saya bahkan berujar, “Pokona mah heboh, nu ti gunung pun turun ka jalan, moal aya ieu mah” (pokoknya heboh, bahkan penduduk dari gunung pun pada turun, gak ada duanya pokoknya) Ada hal yang sulit dijelaskan tentang Persib ini, namun kita semua, khususnya suporter seperti saya, mesti bersepakat bahwa Persib bukan hanya sekedar sebuah klub sepakbola. Persib adalah identitas yang dibangun tanpa lelah, penuh pengorbanan, dan penuh siasat untuk mencintainya. Pendapat yang sama mungkin juga berlaku bagi suporter fanatik lainnya. Jakmania, Persipura Mania, Pasoepati, Brajamusti PSIM, Bonek Mania, dan Mania lainnya saya selalu menghormati pilihan mereka tentang arti mencintai Bagaimana identitas itu terbangun hingga mengakar di hati yang begitu mendalamnya? Saya akan membagi kisah pengalaman pribadi, dari masa kecil hingga sekarang ini, tentang bagaimana kecintaan terhadap Persib memang bagian dari ‘perjalanan’ kehidupan. Perjalanan kehidupan saya secara khusus, dan perjalanan hidup jutaan pendukung Persib lainnya secara umum. SIASAT-SIASAT SUPORTER Mencintai Persib itu warisan dari orang tua, bahkan kakek saya pun menjadi pendukungnya. Saya pertama kalinya menginjakan kaki di Stadion Utama Senayan (GBK) pada tahun 1980-an saat Persib dikalahkan PSMS Medan lewat adu penalti di Final Perserikatan. Waktu itu diajak Bapak, yang menyewa mobil bersama teman-temannya. Sejak saat itu, saya mengusahakan sendiri, dengan segala cara, dengan atau tanpa Bapak, untuk selalu hadir ke stadion bersama teman sebaya di tempat saya tinggal. Saya tinggal di sebuah ‘gang’ di perkampungan kota, di sekitar Gatot Soebroto, tepatnya di Kelurahan Cibangkong, Kecamatan Batununggal, Kotamadya Bandung. Gang pemukiman kota dengan jejaring interaksi penghuninya adalah tempat tinggal kami, tempat kami tumbuh, bersekolah, bermain, berkelahi, dan tempat kami merintis berdirinya kelompok suporter terorganisir. Sejak kecil saya dan sahabat sesama pendiri Viking selalu bersama bersiasat untuk menyaksikan Persib, baik saat bermain kandang maupun tandang. Segala cara kami lakukan untuk bisa menonton langsung ke stadion karena bapak tak selalu setiap saat bisa pergi membawa saya ke stadion, itu membuat saya dan teman sebaya berangkat sendiri ke stadion. Apalah yang bisa diharapkan dari anak SD waktu itu, uang jajan dari ibu tentunya tidak selalu mencukupi untuk membeli karcis, jalan keluarnya kami harus bersiasat. Siasat umum yang banyak digunakan oleh saya dan anak seusia SD waktu itu adalah siasat ‘ngiring pak’. Siasat ‘ngiring pak’ yang dimaksudkan adalah sebagai berikut. Kami semua akan menunggu di pintu masuk stadion, menunggu antrian orang dewasa berkarcis, lalu memohon dengan setengah memelas kepada mereka untuk ikut bersamanya menuju pintu masuk. Modus ini membuat kami seolah anaknya yang sengaja dibawa dari rumah untuk menonton Persib bertanding. Syarat siasat ‘ngiring pak’ itu hanya dua: ‘penampilan’ dan ‘percaya diri’: baju harus terlihat rapih, bersepatu atau sandal, dan badan bersih. Biar apa? Biar penjaga pintu stadion percaya bahwa kami memang benar anaknya. Tak selalu berhasil, kerap siasat kami ketahuan, namun kegagalan satu siasat melahirkan siasat lain. Ini membuat kami kreatif, nekad, dan terkadang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Ada banyak siasat lain selain ‘ngiring pak’: melompat tembok stadion yang tinggi, menjebol pintu masuk bersama-sama massa orang dewasa lain yang tak berkarcis (siap-siap saja kena pentung aparat). Siasat lain yang agak berbahaya adalah naik ke pohon cemara di sekitar stadion siliwangi, pohonnya menjulang, kami terpaksa naik biar bisa nonton Persib secara gratis. Tidak semua pohon bisa dinaiki karena posisi atau ketinggiannya tidak ideal. Sebuah pohon yang ideal ditandai oleh banyaknya sandal atau sepatu di bawah batangnya. Hal itu terjadi karena si pemanjat melepas alas kakinyadibawah pohon, biar tak licin saat naik. Suatu ketika saya kehilangan satu sandal di dalam stadion karena dipakai melempar wasit saat kesal, akibatnya saya harus nyeker karena satu sendal lagi saya lempar juga sebab tak ada guna lagi. “Aha, tiba-tiba terlintas di otak saya, saya harus segera keluar lima menit menjelang pertandingan berakhir, untuk segera mencari pengganti sandal saya, mencari di bawah pohon cemara yang banyak orang naik di atasnya”. Benar saja, saat menjelang pertandingan akan berakhir, kira-kira 5 menitan lagi, orang-orang di atas pohon masih masih asik bersorak sorai, mereka mengabaikan alas kakinya yang dibawah. Ini membuat saya leluasa memilih sandal yang pas dengan ukuran kaki (dan bagus tentunya). Setelah dapat pilihannya lalu saya secepat kilat berlarian dengan teman, menjauhi pohon tersebut diiringi teriakan si pemilik “Hey, goblog, eta sendal aing, eh bangsat!” teriaknya sambil marah namun apa daya ia tak bisa berbuat apa-apa karena masih diatas pohon nan tinggi. Saya pun dan sahabat masa kecil berlari tertawa-tawa sambil teriak, “Nuhun kang!” DONT TRY THIS Menginjak SMP hingga SMA saya dan sahabat masa kecil mulai berani menonton pertandingan Persib saat tandang ke kota lain (Jakarta, Solo, Surabaya, Tanggerang, Malang, bahkan ke Sumatera). Saat perjalanan ke luar kota ini siasatnya lain lagi. Ini siasat yang tak boleh di tiru, don’t try this at home lah, rada-rada kriminil, tapi apa boleh buat karena ini keterpaksaan. Siasat ini bernama ‘darmaji’ yang tercipta karena uang dan bekal tidak cukup untuk survive di perjalanan, maklum anak sekolah. Tanyakan saja pada suporter lawas, siasat ini sudah mendarah daging dipraktekan, baik skala kecil maupun skala luas. Darmaji (singkatan dahar lima ngaku hiji) ini biasanya terjadi di warung atau rumah makan yang berlokasi di tempat bis-bis antara kota berhenti atau transit. Darmaji dimungkinkan berhasil jika penjaga warung menjadi sibuk oleh kedatangan rombongan secara mendadak, situasi memaksa suasana menjadi kalang kabut, yang diciptakan oleh serbuan suporter yang tiba-tiba turun dari bis untuk makan. Dalam kerepotan tersebut aksi darmaji bisa sukses dijalankan. “Makan apa aja” tutur si penjaga warung. “Telor, Nasi, dan Sayur” ujar suporter dengan tenangnya (padahal ayam tidak disebut, dan kadang disaku celana ada perkedel, telor asin, dan makanan lainnya buat bekal di jalan. Tapi ada juga yang bersiasat ‘bisbisbur’ (habis-habis lalu kabur) yang umumnya dipraktekan berbarengan dengan suporter ‘darmaji’. Bisbisbur ini tak bayar sama sekali (agak kejam), dimana habis makan langsung kabur mengendap ke luar warung dan sembunyi di atas bis (biasanya pura-pura tidur). Siasat lainnya adalah ‘macok bayaran’ (tidak membayarkan uang SPP sekolah untuk nonton Persib) atau siasat ‘Uniko’ (usaha nipu kolot) yakni modus minta uang pada ortu dengan modus macam-macam : beli buku, ada praktikum, study tour, dan sebagainya. “Hapunten Apa, Hapunten Mamah” ujar saya saat menulis ini Banyak pengalaman terjadi, dari suka, duka, canda, dan lara dalam menjalani hidup berpuluh tahun sebagai suporter. Segala pengalaman panjang itu telah membentuk pola dan tingkah serta sikap-sikap yang tak bisa dijelaskan nalar dan akal, khususnya oleh pihak yang tak mengalaminya. Sesekali bahkan kerap kali kami terlibat bentrokan sporadis dengan kelompok suporter lawan, dengan pedagang dan penduduk lokal, atau bahkan dengan aparat keamanan di stadion. Semua pengalaman tersebut dipraktekan dan dilanggengkan kultur jutaan suporter lainnya, hingga kami kemudian terbentuk secara alamiah untuk menjadi fanatis, senang bergerombol, solid, dan militan. Di luar hal tersebut, saya ingin mengatakan bahwa menjadi suporter itu pilihan yang beresiko, mengandung ekses baik dan buruk, berimplikasi pada stabilitas keamanan sebuah kota, serta sekaligus mengandung rasa takjub ; tentang cinta yang tak bisa tergantikan walau terlihat irasional. Jayalah Suporter Indonesia.