Disini kosong disana kosong, Tak ada batang tembakau
Bukan saya berkata bohong, Ada katak memikul kerbau
Semua tergelak mendengar pantun empat baris tersebut. Tak terkecuali, seorang bapak yang jarang berkunjung ke rumah sekolah kami pun,ia tertawa sedikit malu menyunggingkan bibirnya. Pantun itu berasal dari buku pelajarana bahasa Indonesia masa SD saya di tahun 80 an dan masih membuat orang tersenyum senang saat saya bacakan lagi ke mereka. Semua tersenyum senang mendengarnya dan sesaat dengan pantun itu mereka lupa sejenak masalah yang menimpa mereka selama ini. Mereka ini di waktu saya duduk dibangku SD tahun 80an – saat saya mulai menemukan pantun diatas – justru tak sempat ‘mempelajari’ huruf dan angka karena larangan kuat dari adat. Sebuah masa tanpa sekolah yang panjang terjadi di hutan bukit duabelas – yang juga tempat hidup masyarakat adat orang rimba.
Beberapa orang lalu menuliskan bait-bait pantun jenaka tersebut lalu ia bacakan lagi ke saudaranya, ke ibu bapaknya, dan ke setiap orang yang sekerabat di rombongnya.. Beberapa orang bahkan sudah mampu menyimpan budaya lisan asli mereka ke dalam catatan pribadinya di sebuah buku tulis kumal sambil sekolah di dalam hutan mereka. Dengan kemampuan itu kapan mereka mau ia akan membacakan pantun karangan mereka pada saya tanpa berkurang makna dan artinya karena tercatat. Oh terhibur sekali saya olehnya karena mengalami sendiri betapa manfaat menulis itu juga bisa diukur dari seberapa hebat efeknya bagi kebahagiaan orang. Saya tersenyum tanpa ragu mendengar pantun karangan mereka yang dicatat oleh salah seorang murid sokola rimba dan sahabat saya. Pemilang Laman namanya, ia membacakan pantun karangannya ini :
Siji Loro Telu Papat
Anjing Gilo gigit pantat
Saya sadari sudah sejauh ini dampak manulis dan membaca sejak sekolah di tahun 1999 masuk ke hutan mereka. Hutan jadi punya ‘pengetahuan lucu’ yang terdokumentasikan tidak sekedar di ingatan. Dan bukan itu saja, kemampuan menulis itupun, bisa jadi alat untuk menjaga kehidupan dari ancaman di luar dan sekaligus senjata mereka untuk bisa menetukan sendiri kemajuan yang sesuai dengan keinginan mereka.
Bukan saya berkata bohong, Ada katak memikul kerbau
Semua tergelak mendengar pantun empat baris tersebut. Tak terkecuali, seorang bapak yang jarang berkunjung ke rumah sekolah kami pun,ia tertawa sedikit malu menyunggingkan bibirnya. Pantun itu berasal dari buku pelajarana bahasa Indonesia masa SD saya di tahun 80 an dan masih membuat orang tersenyum senang saat saya bacakan lagi ke mereka. Semua tersenyum senang mendengarnya dan sesaat dengan pantun itu mereka lupa sejenak masalah yang menimpa mereka selama ini. Mereka ini di waktu saya duduk dibangku SD tahun 80an – saat saya mulai menemukan pantun diatas – justru tak sempat ‘mempelajari’ huruf dan angka karena larangan kuat dari adat. Sebuah masa tanpa sekolah yang panjang terjadi di hutan bukit duabelas – yang juga tempat hidup masyarakat adat orang rimba.
Beberapa orang lalu menuliskan bait-bait pantun jenaka tersebut lalu ia bacakan lagi ke saudaranya, ke ibu bapaknya, dan ke setiap orang yang sekerabat di rombongnya.. Beberapa orang bahkan sudah mampu menyimpan budaya lisan asli mereka ke dalam catatan pribadinya di sebuah buku tulis kumal sambil sekolah di dalam hutan mereka. Dengan kemampuan itu kapan mereka mau ia akan membacakan pantun karangan mereka pada saya tanpa berkurang makna dan artinya karena tercatat. Oh terhibur sekali saya olehnya karena mengalami sendiri betapa manfaat menulis itu juga bisa diukur dari seberapa hebat efeknya bagi kebahagiaan orang. Saya tersenyum tanpa ragu mendengar pantun karangan mereka yang dicatat oleh salah seorang murid sokola rimba dan sahabat saya. Pemilang Laman namanya, ia membacakan pantun karangannya ini :
Siji Loro Telu Papat
Anjing Gilo gigit pantat
Saya sadari sudah sejauh ini dampak manulis dan membaca sejak sekolah di tahun 1999 masuk ke hutan mereka. Hutan jadi punya ‘pengetahuan lucu’ yang terdokumentasikan tidak sekedar di ingatan. Dan bukan itu saja, kemampuan menulis itupun, bisa jadi alat untuk menjaga kehidupan dari ancaman di luar dan sekaligus senjata mereka untuk bisa menetukan sendiri kemajuan yang sesuai dengan keinginan mereka.