Jumat, 29 Februari 2008

Cut Hair Not Tree


Murid-murid sokola rimba memang nekat untuk urusan model rambut. Mereka memilih saling memotong rambut masing-masing dengan sesama temannya. Tak ayal hal ini membuat 'gaya' rambut tergantung mood si pemotong yang belum tentu menguasai benar keahlian seperti yang dimiliki Joni Andrean atau Mang Dadang -- orang Garut pemilik salon priangan yang menjadi langganan saya bila motong rambut di Bandung. Seperti yang di derita Penangguk dan Nyungsang Bungo karena kenekatan keduanya akhirnya rambut mereka amburadul plontos sebelah bagiannya setelah mereka berdua saling memotong rambut diantara mereka. "Kiri jabrik kanannya cepak, mirip illegal logging" kata Penguwar sambil meminta aku membereskan rambut kedua temannya itu.

Gunting memang selalu ada di list peralatan yang kami bawa ke sokola rimba, selain untuk menggunting kertas origami sebagai materi pelajaran juga untuk urusan seperti kenekatan dua murid tersebut.

sisir di tangan kiri, gunting di kanan, dibawah ruma sokola yang bertiang panggung, aku vermak rambut hasil illegal logging kedua anak tersebut.

"Woii mumpa kepalo hayom, belanguunnn" Ujar Penguwar setelah melihat hasil akhir model rambut kedua temannya. Katanya mirip kepala ayam model kedua temannya itu. "Tapi gaul" kataku untuk menghibur kedua anak tersebut yang terkaget-kaget. Tak ada jalan lain karena memang sebelumnya model keduanya rata sebelah bagian namun itu tak lama. Penangguk malah menuliskan I love Induk (aku cinta ibuku) di sebelah bagian sisi kiri Mohawk-nya sambil berjalan penuh kebanggaan setelah kuberitahu bahwa model ini sedang tren di kalangan Band di Bandung. Anak-anak rimba ini memang mengidolakan Peterpan yang disebutnya Band paling olen (enak) lagu-lagunya yang ia dengar dari MP3 di henpon saya. "Kau hancurkan hatiku, hancurkan lagi,..." Senandungnya.

Membagi Buruan, Membagi Kebahagiaan



Pagi sampai tengah hari hujan turun lebat sekali, angin menderu-deru membuat pepohonan menari-nari ke kanan dan kiri. Ini alamat buruk karena jalanan akan sulit ditembus kendaraan apapun. Mau nekad bisa saja asal tahu resikonya : motor trail kami – sibelalang tempur- akan nyangkut dan gak bisa keluar atau ke dalam hutan lagi. Kami kehabisan bahan makanan, tersisa hanya bawang dan tiga canting beras saja. Aku menunggu keajaiban jadinya, berharap segera usai hujan yang tak diinginkan ini dan segera mentari mengeringkan jalanan yang menghubungkan lokasi sokola rimba dengan pasar di luar sana. Menurut mitos setengah gila konon kita harus gantung celana dalam terbalik menengadah ke langit, “Ah tapi siapa yang mau memamerkan perlengkapan pribadinya seperti itu?” Tak ada sukarelawan yang mau ketika saya tawarkan untuk mengekspos celana dalamnya. “mendingan laper deh, tunggu besok aja” tutur rekanku sambil mencari-cari fosil-fosil biskuit yang mungkin tersisa di kotak kayu penyimpanan makanan.

“ Dapet Bro?”
“ Nihil coy, mau nih bawang setengah busuk?” sambil nyengir kelaperan

Aku menunggu saja sambil mencoba tidur-tiduran dan menghayal makanan siap saji dari layanan delivery service, tapi ini utopia yang tak mungkin terjadi. Hujan mereda selepas jam 1 siang, perut semua tim dan murid sokola rimba baru terisi air kopi atau teh saja di menu sarapan tadi pagi, “eh tuhan kamia tekarot” Gerutu Beconteng (9 thn) sambil memegang perutnya yang buncit minta di isi.

Every minute is miracle. Sehabis hujan yang menyisakan tetes-tetesnya dari dedaunan saja , sekelebat lamat-lamat terdengar suara teriakan, “Woiii bepak bulih rusa!” Aku terperanjat, sekejap kemudian, semua orang berlarian turun dari ruma sokola kami yang berbentuk panggung mengejar arah suara. Benar saja, seorang lelaki dewasa yang aku sudah mengenalnya menggendong rusa jantan hasil jeratnya yang ia pasang 4 hari yang lalu. Orang-orang saling memantau dan memanggil kerabatnya yang tinggal di sekitar lokasi kegiatan belajar kami. Tak menunggu lama, semua orang datang dan mengambil perannya masing-masing. Buruan menjadi hak perempuan untuk membaginya, demikian rusa tersebut, kini berada ditangan istri orang yang mendapatkannya. Orang sempu demikian istilah pihak yang menjadi pembagi lauk besar tersebut, ia berhak membagikan hasil buruan tersebut dengan takaran sama banyak ke setiap keluarga di sekitar hutan makekal tempat kami berkegiatan.

Sementara itu orang bulih – yang mendapatkan buruannya – akan mendapat porsi lebih atas jasanya mendapatkan rusa tersebut dengan mendapatkan panoy rusa tersebut. Panoy adalah bagian tertentu tubuh hewan buruan yang mesti dimakan orang bulih sebagai syarat agar perburuan yang dilakukan orang bulih berikutnya lancar dan tak mendapat sial.

“Hmm terbayang daging segar bumbu bawang yang nikmat,” Itulah kata hatiku saat jatah daging kami diberikan orang sempu dalam sebungkus daun. Beconteng – murid sokola rimba – matanya berbinar, aku pun demikian. Demikianlah kearifan adat di rimba Bukit Duabelas dalam membagi buruan yang sekaligus membawa kebahagiaan pada semua orang.

Hujan kembali turun namun asap kini membumbung di dapur kami yang beratap daun membawa aroma daging dipanggang. Terima kasih hujan atas nikmat yang sedang kami santap ini.

Kamis, 21 Februari 2008

memecion


Menosur namanya, sangat indah mendengarnya.
Setiap nama anak yg lahir selalu pemberian dukun atas petunjuk bahelo (dewa leluhurnya). Demikian kehidupan leluhurnya selalu diatur adat dan rimba mewadahi aktivitas kesehariannya.

Saya mengenalnya, ia salah satu murid yang belajar dari guru-guru SOKOLA yang mendatangi kediamannya di tengah kelebatan rimba makekal. Di sekolah itulah ia belajar membaca dan bersiasat terhadap perubahan agar ia tetap hidup bermartabat.

Seiring waktu berjalan, Menosur harus menyadari bahwa rimbanya kini terkepung, terdesak, dan terancam beragam masalah. Alih-alih melindungi hak komunitasnya, taman nasional yang ditetapkan pemerintah atas dorongan sebuah LSM konservasi malah hendak mengusirnya dengan cara halus.

Apa yang terjadi dengan nasib menosur kelak? Rasa-rasanya tak cukup bila hanya sekedar ‘memecion’ (main katapel) untuk melawannya. Tidak juga hanya sekedar kemampuan membaca dan berhitung karena penipu selalu punya modus lain untuk mengelabui mereka lagi. Menosur butuh pengetahuan yang mumpuni utk menyikapi perubahan yang terjadi di kehidupannya.

Selasa, 19 Februari 2008

God save the crew

Baiklah, terus terang saja saya benci makhluk keparat ini. Ia mendengung dan menggigit setiap saat. Lalu kemudian ia mewarisi penyakit kutukan yang tak bisa disembuhkan. Tahun-tahun yang sibuk dan saya harus sedih mendengar beberapa kabar buruk. Sekolah pulau di Maumere sana: Dedi sang arsitek digigitnya lalu beberapa volunteer bergantian masuk rumah sakit karenanya.

Di makassar, Oceu yang bertanggung jawab dalam kegiatan sekolah pesisir, tergolek dan harus opname. Di Jambi, di bukit 12, korban berjatuhan dan dibaptis oleh makhluk ini. Butet kena, Rubi juga, lalu Stevi dan yah, saya pun terkena kutukan penyakit ini di bukit 12 empat tahun yang lalu.

Sejak makhluk ini menggigit, saya harus menyimpan pil-pil pahit disetiap perjalanan. Kabar teranyar, ibu direktur, Butet Manurung, dari Ternate memberi kabar yang menyedihkan lewat sms, “Dod, aku masuk rumah sakit, tolong kamu segera menyusul ke sini.”

Saya meradang merutuki makhluk pembawa penyakit kutukan daerah tropis ini.
Sekian dulu bro, ini hanya kisah tentang crew sokola: komunitas penderita malaria…

Sokola Rimba


Pagi masih temaram, hujan semalam membuat dingin menusuk tulang. Saya rapatkan sleeping bag. Orang Rimba menyebut suasana pagi demikian dengan ’tarang laroy’. Saya lihat jam masih setengah enam namun murid-murid sokola rimba sudah sigap menyiapkan sarapan pagi. Semalam mereka belajar sampai larut namun secepat itulah mereka terjaga.

Ada 20an murid rimba dan semuanya membagi diri dlm tugas. Sebagian mencari kayu api, cuci piring dan periuk, menanak nasi, menjerang air dan bermasak. Setelah siap, pinggan (piring) ditebar dan ransum dibagi sama rata sesuai jumlah anak dan para guru.

Para guru masih tidur dan mereka akan bangun setelah mandi dan santapan siap. Selanjutnya? Para murid biasanya memilih waktunya sendiri untuk kegiatan hari itu. Ada yang langsung meminta belajar lagi dan ada yang bermain-main saja sampai mood belajar mereka muncul. Inilah suasana belajar sokola rimba: tak ada waktu terjadwal dan tak ada kepatuhan yang dipaksakan.

Sokola rimba seperti istilah keren di kota dengan nama boarding school: murid menginap, makan, dan tidur di ruma sokola. Bedanya, sokola rimba gratis dan tak harus anak orang kaya spt boarding school di kota. Orang tua mereka berada di tempat yang jauhnya beragam dari lokasi sokola. Ada yang dekat dan ada yang jauh. Seperti suatu siang, seorang induk (ibu) datang menengok anaknya sambil membawa ikan sebagai kiriman buat anaknya. Sertu, nama anak yang ditengok induk tersebut, terlihat manja dan dibelai dengan penuh kasih sayang. Hari itu saya menjadi yakin, bahwa kasih ibu tanpa batas, kasih ibu tak terbalas. Hari yang sentimentil. Ah, saya lama tak pulang, saya merindukan sang ibu di rumah.

Lahir, Tumbuh, Bebas


Tak ada impian menyenangkan selain menjadi diri sendiri. Dan tak ada yang lebih menyengsarakan selain dikuasai orang. Sampai langkah ini kembali saya ayunkan ke tengah-tengah ‘sahabat’ kecil saya yang masih saja mencintai hutannya.

Menosur, Becayo,penangguk, Sertu, Berapit, Penguwar dan anak-anak Orang Rimba lainnya di Makekal Hulu, kawasan hutan Bukit 12 Jambi. Mereka masih saja memegang katapel (peci) dan membidik setiap yang bergerak di atas atau yang hinggap di pepohonan. Tupai dan burung adalah target peluru katapel mereka.

“Prak!” bunyi peluru menerpa dedaunan menjadi suara harapan karena mereka akan menjadikan sasarannya sebagai lauk makan mereka. Anak-anak Orang Rimba memang harus gesit, tangkas, rajin, dan kuat karena hutan tak memberi ruang bagi kemalasan.

Semua yang jadi sumber makanan dan tradisi-tradisi leluhurnya ada di setiap relung hutan. Hutan Makekal sejak tahun 2000 menjadi kawasan Taman Nasional Bukit 12 dan anak-anak ini kini dipaksa ‘tunduk’ oleh aturan yang akan mengganggu kebebasannya memilih binatang yang disukainya sebagai target katapelnya.

“Kamia akan melawan, meski kaloh kami akan teruy melawan, kami akan peci kepalonye kalu orang usir kami dari rimba nio.”

Dalam ingatan bersama anak-anak Makekal, hutan bukan hanya sumber kehidupan orang tuanya namun lebih dari itu hutan adalah tempat mereka bermain. Setelah puas memecion, anak-anak tersebut lalu belajar kembali di ruma sokola yg tegak berdiri di tengah-tengah persoalan keseharian mereka.