Minggu, 22 November 2009

Lebak Bulus Undercover


Sebuah sore, di awal februari 2008, di Stadion Lebak Bulus dalam pertandingan Persija melawan Persib. Ini pertandingan bola live pertamaku. Aku bukan penggemar dan sejujurnya tidak tahu apa-apa tentang sepak bola. Tetapi aku bersama seseorang yang bercerita tentang ketakjubannya menonton pertandingan bola pertamanya dalam kenangan gandengan tangan ayahnya - saat ia duduk di kelas tiga SD, dan sejak itu pula ia tidak pernah melewatkan pertandingan yang melibatkan tim kotanya,Persib Bandung. Sepak bola dan Persib menjadi bagian dari kesehariannya di gang yang kemudian melahirkan kelompok suporter terbesar dengan anggota lebih dari 70.000 orang: Viking Persib Club.

Masalahnya, Lebak Bulus sama sekali bukan tempat yang aman untuk suporter berseragam selain oranye. Setidaknya untuk sore itu. Tiga kali terjadi tepat di belakangku orang berkelahi. Satu kalimat yang aku ingat dalam perkelahian itu adalah, “Periksa KTP-nya!” Kalau ketahuan orang Bandung, dijamin nggak selamet keluar dari stadion. Ini yang bikin aku ciut selama pertandingan dan nggak berhenti membisikkan doa, sekalipun kami dalam penyamaran kostum oranye di tribun VIP. Seseorang di sampingku, terus membisikan di telingaku, untuk tenang dan tak usah kuatir. Ia menyakinkan aku,bahwa aku aman berada di sampingnya. Akuhanya yakin, bahwa dirinya mengetahui aura kerumunan dan tau cara memilih sikap untuk tak mencelakakan kita.

Stadion bergemuruh. Lagu-lagu dukungan tim oranye menggema selain makian terhadap tim lawan. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan temanku - ia kini suamiku - dalam penyamarannya. Ia harus ekstra hati-hati: tidak boleh kelepasan bicara dengan logat Sundanya atau spontan mengaktualisasikan dukungannya pada Persib. Mungkin ia merasa bersalah harus memakai kaos oranye sore itu. Sementara tak jauh di sebelah kiri kami seorang suporter perempuan memakai kaos yang bertuliskan makian terhadap suporter Persib. Di depan kami, seorang laki-laki mengikatkan kaos biru di sepatunya sehingga selalu terinjak setiap ia melangkah. Sore itu, kiper lawan terkena lemparan batu dan bis berpelat D yang mengangkut timnya rusak berat ditimpuki batu dan segala jenis benda lainnya.

Barangkali ini bukan tentang Persija melawan Persib, karena dalam setiap nyanyian mereka, saat aku berkesempatan menonton diantara kerumunan Viking pun, selalu kedua kubu ini saling memaki baik kepada The Jak atau kepada Viking. Barangkali ini bukan tentang makna sebuah pertandingan, karena bahkan di lain hari ketika Persija melawan yang lain, tetap saja nyanyian makiannya ditujukan untuk Viking. Demikian juga sebaliknya, ketika Persib melawan Slemania di Jogja, ritual para suporter dimulai dengan membakar bendera oranye. Barangkali ini bukan sekedar tentang sepak bola karena dalam perjalanan wisata di Jogja, seorang beratribut Persib ‘disapa’ oleh anggota The Jak dan dipaksa melepas atribut birunya.Atau kisah sweeping the Jak yang dilakukan Viking di sekitaran Cihampelas, Gunung Gede Cibodas, dan disaat Bandung dipadati wisatawan Jakarta, selalu saja tergambar, bahwa ini bukan sepakbola semata. Barangkali ini tentang drama perlawanan 'pinggiran' kepada pusat kekuasaan yang menghegemoni.

Tapi yang pasti, The Jak maupun Viking telah memberi identitas kepada orang-orang muda yang selama ini tidak mendapat tempat di ruang formal karena sering dilabel dalam format serba tak teratur, tak disiplin, kerap membandel, tak didengar aspirasinya, dan tak penting. Dan stadion,kemudian menjadi arena aktualisasi diri, untuk menunjukan eksistensinya. I love the game!

- Aditya Dipta Anindita & Dodi Rokhdian

the weapon of the weak


Terdapat pergeseran modus penguasaan dan kontrol negara atas hutan dalam perjalanan sejarahnya, yakni dari sekedar menguasai spesies kayu tertentu dan tenaga kerja, menjadi penguasaan wilayah serta membatasi dan mengatur aktivitas manusia dengan sumber daya alamnya, yang kemudian menambahkan kata konservasi untuk menguatkan legitimasinya. Klaim negara dan Konservasionis (yang kadang bersekutu dalam prakteknya)menambah kekuatan legitimasinya itu dengan menyodorkan sebuah gambaran ruang abstrak atau 'peta'. Peta ini menjadi powerfull dan alat kontrol atas aktivitas manusia oleh pihak tertentu - ketika diterapkan dalam wacana teritorialisasi dan konservasi. Peta itu mereka buat sendiri, ditandai sendiri batas-batasnya, lalu mereka imajikan sendiri : siapa yang berhak ada di dalam kawasan peta tersebut, dan siapa yang tak boleh ada di dalamnya. Peta menjadi persoalan 'mengeluarkan dan memasukan' unsur tertentu dengan cara sepihak.

Jika dulu dimasa feodalisme tanah dimiliki dan dikuasai patron, lalu orang dikuasai sebagai jaminan tenaga kerja. Kemudian Belanda berkuasa, maka tanah dan hutan dikuasai untuk mengontrol tenaga kerja dalam pengambilan species tumbuhan unggul, yang laku dipasaran dunia. Di masa kini, saat feodaliseme dan jejak kolonialisme telah pergi, negara RI justru mewarisi sifat dan karaktek penguasaan masa lalu, dengan memperluas legitimasinya. Negara di masa kini telah mengambil alih peran tuan tanah (patron yang dulu mengayomi rakyat), meneruskan jejak kolonialisme Belanda, sambil meluaskan kekuasaan atas teritorialnya dengan menguasai lahan, tanah, dan kawasan hutan.

Negara selalu menetapkan batas penguasaan formal ketika mengklaim satu wilayah, sementara di tingkat lokal penguasaan lahan atau hutan kadang berdasarkan atas hukum adat atau atas dorongan kebutuhan subsisten. Rezim negara kerap mempolitisi citra penjahat hutan secara tidak sah, ia melabel mereka sebagai kriminal yang subversif, yang seolah-olah perbuatan mereka mengganggu wibawa dan otoritasnya. Dilain pihak masyarakat asli dan orang-orang yang telah hidup ratusan tahun didalamnya, kadang bertindak dan bereaksi sekedar memperpanjang hidup, ia bertindak juga sebagai wujud protes atas hilangnya akses atas sumber daya alamiahnya dan atas terancamnya subsistensi. Tindakan protes mereka sesungguhnya bukan dimaksudkan untuk menggulingkan kedaulatan negara, mereka menuntut hak, hak atas hutan yang menjadi sandaran hidup dan ekspresi kultural. Dalam wacana lokal, pemaksaan negara dan kesewenang-wenagannya ini dianggap kejahatan dan penghianatan yang tentunya menimbulkan perlawanan yang terus berproses dalam berbagai bentuk. Perlawanan yang oleh James C Scott diistilahkan dengan bentuk perlawanan sehari-hari: tanpa bentuk, tak terorganisir,gerilya diam-diam, dan perlawanan pasif lainnya.

Kamis, 19 November 2009

There is no other, there is only oneself


Wacana identitas selalu berlangsung dalam sebuah arena pertarungan politis, Ia merupakan artikulasi untuk memposisikan diri dengan pertimbangan peluang yang dimilki pelakunya saat terlibat dalam sebuah arena sosial, bisa saja kita mengatakan siapa diri kita dengan menerapkan black and with grammar - yakni klaim sepihak yang tegas, yang beroperasi dalam bingkai hitam dan putih, 'bahwa diri kita lah yang baik, orang lain jahat, kita yang pintar yang lain bodoh, lalu hanya kitalah yang beradab yang lain terbelakang. Namun dalam kenyataan sehari-hari hal demikian itu tidak harus memiliki kewajiban untuk disepakati dan diakui, akan selalu dikontestasi, dan akan selalu menghadapi perlawanan-perlawanan.“There is no other, there is only oneself facing forever the problem of one’s self discovery” .


hakikat kebudayaan


hakikat pikiran manusia, baik asal usulnya, fungsinya, bentuk-bentuknya, maupun pemakaiannya mempunyai sifat sosial, dan berpikir merupakan sebuah kegiatan publik. Habitatnya alamiahnya adalah, rumah, pasar,atau alun-alun. Pandangan Geertz tentang hakikat pikiran manusia tersebut ditujukan untuk melakukan sebuah pemeriksaan peralatan kebudayaan dalam mendefinisikan, merasakan, dan mereaksikan masyarakat manusia.Singkatnya Geertz ingin melihat hakikat berpikir manusia sebagai kegiatan sosial yang bisa digunakan sebagai alat menganalisis kebudayaan.

that thought does not concist of mysterious processes located in what Gilbert Ryle has called a secret grotto in the head but of a traffic in significant symbols - objects in experience (ritual and tools: graven idols and water holes : gestures, markings, images, and sounds) upon which men have impressed meaning – make of study of culture a possitive science like any other

pikiran manusia adalah lalu lintas simbol bermakna yakni objek-objek pengalaman yang dimaknai. namun makna itu kadang kabur, kompleks, susah dipahami, namun makna itu bisa diselidiki lewat penyelidikan empiris yang sistematis. Hingga kita tahu makna-makna yang teratur, itulah pola kebudayaan, yang dengannya kita bisa memahami sebuah kebudayaan manusia.

Hubungan-hubungan antar makna bisa ditangkap melalui medium formulasi kultural, dan karena dirumuskan secara kultural maka ciri spesifik hubungannya berbeda dari masyarakat ke masyarakat lainnya, berbeda dari situasi ke situasi lain di dalam masyarakat, dan berbeda dari pelaku ke pelaku lainnya dalam satu situasi yang sama. Segala sesuatu diperantai makna : baik sesama manusia, kelompok sosial,kewajiban sosial,institusi politis, atau kondisi ekologis sekalipun.

sistem makna itu sendiri,dikonstruksi secara historis, dipelihara secara sosial, lalu diterapkan secara individual.

... and the symbol system which define these classes are not given in the nature of things – they are historically constructed, socially maintained, and individually applied.

itulah hakikat kebudayaan sebuah jejaring makna pikiran manusia yang diwujudkan pelaku-pelakunya, dalam tindakan nyata di dunia yang mereka tempati.

Sabtu, 17 Oktober 2009

sokola ketahanan hidup anak-anak sumbar


Saya ditelpon kawan sehari sesaat sumbar di guncang gempa,ia meminta kesediaan saya untuk mencarikan lokasi dan rekomendasi untuk program berbasis anak.namun saya dilanda gundah karena saya harus meninggalkan kuliah yang sedang saya jalani. Ini masa depan saya,namun bencana di ranah minang membuat saya harus menentukan pilihan. "bagaimana? kalau siap saya akan urus penerbangannya" Katanya penuh harap. Lubuk terdalam mengatakan saya harus berangkat, diskusi sejenak dengan istri, ia meminta saya ke padang,"pergilah, kuliah akan punya solusinya, asal jangan lama" Katanya penuh pengertian.

Sayapun akhirnya pergi,tugas kuliah diurus istri, lalu garuda pun melesak ke angkasa,pergi menuju barat mempertemukan saya dengan persoalan di lokasi bencana. Saya langsung bekerja, mendatangi setiap tempat, mendalami persoalannya,lalu live in di titik tertentu. saya harus mengungkap aspirasi anak-anak korban gempa untuk mencari intervensi yang tepat guna menggulirkan program di sana.

Dari Lubuk Alung saya sisir Pasir Laweh dan Salibutan, lalu ke Pariaman utara mendatangi Sekapak Barat dan Timur. saya menemukan benang merahnya persoalan, yang terjadi di setiap lokasi gempa. Anak-anak mengalami kondisi yang rentan karena tempat tinggal, sekolah,lingkungan bermain, berubah menjadi puing dan hancur. Mereka menyimpan ini dalam memori kolektifnya : tentang bagaimana ia menjalani hidupnya di hadap, tentang bagaimana ia menemukan makna hidupnya kembali. Mereka diabaikan bencana, orang tua dan dewasa disekitar mereka lebih sibuk menyamankan dan merecovery lagi kehidupannya yang luluh lantah. Intervensi dan aktivitas apa yang saya mesti sodorkan? saya dirundung dilema-dilema dan mencoba menyodorkan ini pada kawan saya tersebut yang berjanji mensuport kami dalam sebuah program.

sekolah ketahanan hidup adalah usaha mengaktifkan kembali proses pendidikan dengan mendirikan tenda temporary school untuk mengisi kekosongan proses belajar yang terhenti. Ini diajukan sambil menunggu sekolah kembali pulih. Didirikan pula shelter anak sebagai tempat bagi anak menyamankan diri dengan kegiatan kreatif dan rekreatif. shelter ini terbuka sebagai ruang menyenangkan,menghibur, dan mendidik bagi anak-anak. Di tempat inilah pemulihan psikis dipulihkan sambil mengambil peran pengasuhan orang tua mereka yang tak punya waktu banyak buat mereka karena kesibukannya. Di sisi lain asistensi ke komunitas dilakukan dalam hal pengorganisasian posko untuk memberi bantuan teknis dan administratif warga dalam rangka recovery kehidupannya. Begitupun solidaritas komunal yang tercerai berai sehabis gempa, dalam program ini berusaha di solidkan lagi lewat aktivitas pengajian warga serta memfasilitasikan pendirian kelompok-kelompok seni,budaya dan olah raga. Semoga dengan itu kekompakan warga bangkit kembali, dan efeknya, anak-anak menjadi tak diabaikan lagi oleh rasa solidaritas yang muncul kembali.

dan saya pun harus pulang,pulang untuk kembali lagi.