Kamis, 22 Mei 2008

Senja Di Wailago


bila malam akan menjelang dan siang segera undur, berdoa saja tak ada jelaga hitam dilangit, maka akan selalu indah langit di ufuk barat. Saya sering terpaku menatap barat dan memimpikan momen ini sepanjang waktu. Pulau Besar berada di utara Maumere,ibukota Kabupaten Sikka terpisah selat pedang yang mengisolasi warga di pulau ini. Saya datang dua tahun lalu, melakukan grounded research disana, mendirikan rumah sekolah, dan memberikan satu pilihan kepada warga di sana yang tak mengenal huruf dan angka : membaca atau terlindas perubahan.

Sejarah Karet di Taman Nasional


Sejatinya, sebuah taman nasional itu ditumbuhi tanaman eksotis hutan dan tumbuhan endemik langka lainnya. Nah kok di Bukit Duabelas ini, tepatnya dalam kawasannya yang 65 ribu hektar, malah terdapat kebun-kebun karet milik orang rimba dan orang dusun? Jadinya aneh, pantes saja banyak konflik lahan, karena sejarah ‘tegaknya’ taman nasional sendiri menapikan sejarah penghuni asli wilayah itu. Orang rimba di taman nasional dianggap ahistoris yang harus mengalah demi konservasi. Padahal umur TNBD baru 8 tahun karena berdiri sejak tahun 2000 lalu. Tapi lucunya dibalik klaim berdirinya taman nasional tadi ternyata ‘ladang karet’ tradisionil masyarakat menjadi tercaplok ke dalam kawasan itu.

Wah mana buktinya? Kata kehutanan yang kadang memakai pendekatan legal formal alias klaim hukum untuk mengibuli masyarakat orang rimba yang menuntut soal lahan karetnya.
Baiklah ini buktinya seperti narasi dalam tulisan dan photo tentang ‘getah’ di atas. Photo itu diambil di wilayah utara barat Taman Nasional, tepatnya di hutan Sungai Makekal agak hilir. Itu lokasi ditengah taman nasional, dan umur pohon karet produktif ini, jelas-jelas lebih dahulu dibandingkan taman nasional. Pohon karet adalah tanaman non endemic sumatera, pohon itu asalnya dari brazil, yang dibawa ke Indonesia bersamaan dengan masuknya pendatang dari luar nusantara.
Memasuki masa produksi pohon karet butuh waktu sekitar 10 tahunan atau lebih. Begitulah, maka tak tepat klaim kehutanan tersebut bila berdasar pada bukti legal. Sejak dari nenek moyang, orang melayu jambi dan orang rimba tak mengenal apa itu sertifikat tanah sebagai bukti sah. Kepemilikan diakui berdasarkan keberadaan tanaman diatasnya. Siapa yang membuka pertama sebuah lahan atau hutan lalu menanaminya maka itulah tuhan atau pemilik tanah dan kebun tersebut.

Mari dengar pernyataan seorang Tumenggung – pemimpin adat - di rombong air panas sisi selatan Taman Nasional Bukit Duabelas saat berkonflik dengan KSDA dan dinas kehutanan tahun 2006. Saya kutip kata-kata beliau menyangkut keresahan komunitas adat saat terancam diusir Negara akibat terbitnya RPTNBD atau Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas.
“Kami tidak mengerti undang-undang Negara, yang kami ngerti bahwa kami punya adat dan undang-undang nenek moyang, sejak langit naik dan bumi terciptai kami tinggal disini lah, Negara hanya datang belakangan ke hutan kami, seharusnya negara bertanya pada adat kami”
Ya ampun kalau begitu sudah jelas seharusnya, bagaimana ini tuan pemimpin yang ngatur Negara? Lah jangan niru-niru cara kompeni jaman VOC dulu. Inget lho, sekecil-kecilnya semut, kalau diinjek, satu atau dua ekor atau beramai-ramai pasti aja sanggup gigit itu kaki kompeni.

Rumah Ladang : Kukuruyuk-Kukuruyuk


Senja cuaca mendung, langit sesaat lagi kelam, gerimis mulai turun, saya terpaksa tak melanjutkan perjalanan, “ah, gimana ini?” Setapak di hutan makekal semakin tak terlihat, saya berjalan oleng tak konsen lagi, sebentar-sebentar terjatuh lemas, “kukuruyuk,kukuruyuk” Ada yang berbunyi seperti ‘cacing’ di perut ini. ah tandanya lapar kalau begitu. Tapi kok kukuruyuk? Ah persetan apapun jenis bunyi diperut ini, yang jelas jalan masih jauh setengah harian lagi ke depan, disana tujuan kami dibalik dua buah bukit. Hujan lalu turun lebat sekali membasahi hutan dataran tropis di jantung sumatera ini.

“Sebaiknya kita menginap, besok pagi dilanjutkan" kata teman saya yang asli Makekal. Dimana kita bermalam, bagaimana ini? saya bingung karena kami tak bawa tenda dan makanan cukup. Ah beginilah kalau cocongoron alias sombong merasa hebat takakan tersesat. Seharusnya saya antisipasi hal terburuk sekalipun, apalagi ceritanya mau jalan di hutan. Saya dengan teman ini terus berjalan tak pasti, kelaparan, dan terus teriak-teriak berharap ada orang disekitar kami yang mendengar.

"Siapooo" Sahut-sahut dari jauh suara orang menyakan siapa kami.
“Kamia sosot ndok mati tekarot” Teman rimba saya teriak membalas dan berkata bahwa kami tersesat dan mau mati karena kelaparan.
“Kemaaii” teriaknya mengundang kami datang.
Ah dasar teman saya ini senangnya hiperbolis, gak mungkin deh mati karena gak makan setengah hari. Laper memang laper, tapi saya masih ingat, kami berdua makan nasi bungkus gulai ikan dari RM Minang Raso di luar hutan sebelum masuk hutan Makekal. Tapi biarin aja, saya butuh shelter untuk melewati malam hujan terkutuk ini. Brrrrrr,.. kami gemeletuk kedinginan sambil merayap dikegelapan menuju suara undangan mampir itu.
“Oh, Bujang lapuk, noeklah anggo rumah guding, akeh ado ubi kayu” Rupanya ini rumah seorang bapak yang saya kenal juga, namanya tak perlu disebut, dia bilang setengah menghina saya soal status bujangan saya. Tapi ia mempersilahkan naik ke rumahnya, tepatnya lagi rumah di tengah ladang yang sekelilingnya hutan belantara.

Pemukiman orang rimba selalu dekat dengan sungai dan dengan tetangga terdekatnya berjarak relatif, paling dekat sejarak saling terdengar saat berteriak.
Ubi kayu rebusnya sudah dingin karena sejak sore dia masak, saya tak tahu diuntung dengan kebaikannya. “ada yang hangot guding?” Maksudnya saya tanya ada yang panas? Dia menggeleng dan hanya memonyongkan mulutnya ke arah luar menunjuk pepohonan ubi kayu yang tertanam di hamparan ladangnya yang sudah gelap. “kalau mau ambil di kiun” Kata dia lagi menyilahkan saya mencari dan mencabut sendirin jika mau ubi kayu hangat. Ah hari sudah malam, saya telan saja ubi kayu dingin ini, daripada harus mencabuti batang ubi kayu sendiri.
Esok paginya. Saya disuguhi lagi ubi kayu yang panas dan nikmat sebagai sarapan.Terima kasih kawan, lalu saya pamit, lalu kami berjalan lagi, menyusuri setapak, melanjut perjalanan yang tertunda semalam.