Jumat, 26 September 2008

Kukenang Mereka

Membayangkan masa lalu sungguh membahagiakan. Kehidupan tampak serasi nan serba kecukupan. Tak sepusing akhir-akhir ini. Buruan menjarang dan satu persatu pepohonan bertumbangan dengan skala yang menghebat. Di langit sore tak sesering dulu, burung keramat rangkong gading terbang mengepak. Tak ada keanggunanan di langit mereka lagi. Hingar bingar kemajuan terlihat diperbukitan yang jauh dalam bahasa marginalisasi. Disana katanya, koloni pendatang transmigran, cukong kayu, dan para konservasionis yang nyari obyekan, hidup makmur diatas kesedihan berkepanjangan. Mereka mencaploki hutan tempat mereka tanpa sedikit pun basa-basi meminta ijin mereka. Terkubur sejarah panjang hegemoni kultur dominan, kami di sini, menyandang ambung-ambung kesedihan. Aku mengenang ini dengan getir.

Minggu, 21 September 2008

keluar dari pertapaan

1 september 2008 dan selanjutnya sampai 2 tahun ke muka aku di menara gading. belajar untuk entah, entah tambah pintar atau semakin terasing. meminjam kata kawan bahwa dipertapaan tak selalu pilihan tepat. aku ke langit sana, mengotak atik makna diatas punggung-punggung raksasa pengetahuan.

Minggu, 03 Agustus 2008

Hembusan Menosur


Kelak saat tiba waktunya seorang anak mesti mencukupi sendiri semua kebutuhannya. Kemandirian anak menjadi tujuan semua pengasuhan orang tua dimanapun. Kapan itu terjadi? Di dunia luar yang selalu mengklaim sebagai masyarakat modern peran anak-anak banyak ditentukan orang dewasa disekelilingnya. Dicukupi semua kebutuhannya mereka sampai dirasa cukup untuk bisa hidup mandiri. Ini memakan waktu panjang dan mahal karena anak di dunia modern membutuhkan biaya-biaya tertentu untuk bisa dikatakan siap bertarung di dunia nyata. Bahkan tak bisa dipungkiri pola asuh dunia modern melahirkan ketidaksiapan proses-proses kemandirian. Aku saksikan ribuan pengangguran-pengangguran yang terus menjadi parasit orang tua mereka. Apa pasal? Aku tak mau sok tahu kenapa semua itu terjadi. Ah itu memang beban yang memprihatinkan bahkan itupula yang menjadi penyebab semua kekacauan terjadi di dunia modern oleh ulah parasit-parasit tersebut.

Tapi tidak terjadi di sini, ditempat yang kerap disebut masyarakat tak maju, tak beradab, dan dicap terbelakang. Aku menapikan semua itu oleh satu sebab yang diperlihatkan seorang anak di masyarakat adat orang rimba di bukit duabelas. Anak dituntut secepat munkin bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dengan asuhan alam dan kerasnya hidup. Sejak kecil Menosur salah satu anak itu mampu membuat api, mencari kayu bakar, berburu binatang kecil, dan bermasak untuk dirinya dan orang disekitarnya. Lalu tak perlu menunggu lama ia akan menyiapkan sumber kehidupannya dengan berladang dan mengasah diri dalam keahlian sebagai pemburu dan peramu. Disela-sela itu ia sekolah di sokola rimba untuk menambah pengetahuan tentang hidup. Jangan patah arang Menosur, meski dirasa terlampau dini menerima kemandirian itu, namun itu jalan terbaik dan bertanggung jawab. Agar hidupmu merdeka dan tak menjadi parasit. “Wusss, wussss, wusss” Begitulah bunyi hembusan angin yang ia tiup untuk satu kelangsungan hidup. Dan api pun menyala memanaskan sumber makanan yang ia dapatkan dari perburuan.

Tarian Langit


Entah siapa yang memulai. Saya hanya sempat menyaksikan saja satu orang anak mengenakan kain panjang. Lalu menarilah mereka sembari mendengungkan nyanyian puja-puji kepada langit malam. Untuk apakah tarian mereka? Aku tak mungkin tahu apa maksud gerakan tarian itu. Menari adalah ritual religi yang tak akan pernah bisa dipertontonkan kepada siapapun. Tidak juga aku. Anak-anak ini hanya spontan menirukan tarian religius itu seperti yang sering mereka lihat di ritual bebalay atau saat mereka menyembah tuhannya. Menarilah dengan lepas, lepas dari segala suntuk karena hari semakin ringkih buat hutan mereka. Hutan yang semakin memanggang, air sungai surut, atap langit terkoyak deru pembukaan lahan.

Dan malam menutup harinya ditingkahi segala bebunyian penghuninya. Sayup-sayup siamang menjadi musik penutup tarian langit itu.

Kamis, 24 Juli 2008

Perempuan Dalam Tradisi



Betulkah tradisi asli punya kecenderungan menindas kaum perempuan? Jangan-jangan kalian saja yang teramat kritis memandang makna ketertindasan. Di satu kehidupan berbasis perburuan dan meramu, saya lihat rona ketulusan menjalani setiap takdir yang digariskan adat kepada kaum perempuan. Takdir memang harus dijalani karena perempuan tahu bahwa suami-suami mereka sama keras dan beresikonya saat berburu,berladang dan mencari makanan buatnya. Siapa kalian ini? kok bisa-bisanya memberi satu standar penilaian kehidupan kepada mereka yang telah menjalaninya ratusan tahun? Simpan dulu konsep ilmiahmu tentang kesetaraan? Tanpa kehadiran kita dengan konsepnya bisa jadi kehidupan mereka malah akan baik-baik saja. Kita seperti mencopoti tiang rumah mereka satu persatu saat mengusik ‘dunia kecil’ kaum perempuan di relung tradisi asli.
Hidup memang sulit dan patut disandang di pundak, satu langkah berpeluh sama beratnya dengan ratusan langkah tergesa suami mereka saat bersabung nyawa mengejar makan buat keluarga mereka.
Ssstt..! jangan usik dulu mereka bila itu konsep canggihmu membuat tradisi asli terancam kewibawaannya.

Kamis, 05 Juni 2008

Pantun Jenaka


Disini kosong disana kosong, Tak ada batang tembakau
Bukan saya berkata bohong, Ada katak memikul kerbau


Semua tergelak mendengar pantun empat baris tersebut. Tak terkecuali, seorang bapak yang jarang berkunjung ke rumah sekolah kami pun,ia tertawa sedikit malu menyunggingkan bibirnya. Pantun itu berasal dari buku pelajarana bahasa Indonesia masa SD saya di tahun 80 an dan masih membuat orang tersenyum senang saat saya bacakan lagi ke mereka. Semua tersenyum senang mendengarnya dan sesaat dengan pantun itu mereka lupa sejenak masalah yang menimpa mereka selama ini. Mereka ini di waktu saya duduk dibangku SD tahun 80an – saat saya mulai menemukan pantun diatas – justru tak sempat ‘mempelajari’ huruf dan angka karena larangan kuat dari adat. Sebuah masa tanpa sekolah yang panjang terjadi di hutan bukit duabelas – yang juga tempat hidup masyarakat adat orang rimba.

Beberapa orang lalu menuliskan bait-bait pantun jenaka tersebut lalu ia bacakan lagi ke saudaranya, ke ibu bapaknya, dan ke setiap orang yang sekerabat di rombongnya.. Beberapa orang bahkan sudah mampu menyimpan budaya lisan asli mereka ke dalam catatan pribadinya di sebuah buku tulis kumal sambil sekolah di dalam hutan mereka. Dengan kemampuan itu kapan mereka mau ia akan membacakan pantun karangan mereka pada saya tanpa berkurang makna dan artinya karena tercatat. Oh terhibur sekali saya olehnya karena mengalami sendiri betapa manfaat menulis itu juga bisa diukur dari seberapa hebat efeknya bagi kebahagiaan orang. Saya tersenyum tanpa ragu mendengar pantun karangan mereka yang dicatat oleh salah seorang murid sokola rimba dan sahabat saya. Pemilang Laman namanya, ia membacakan pantun karangannya ini :

Siji Loro Telu Papat
Anjing Gilo gigit pantat

Saya sadari sudah sejauh ini dampak manulis dan membaca sejak sekolah di tahun 1999 masuk ke hutan mereka. Hutan jadi punya ‘pengetahuan lucu’ yang terdokumentasikan tidak sekedar di ingatan. Dan bukan itu saja, kemampuan menulis itupun, bisa jadi alat untuk menjaga kehidupan dari ancaman di luar dan sekaligus senjata mereka untuk bisa menetukan sendiri kemajuan yang sesuai dengan keinginan mereka.

Kamis, 22 Mei 2008

Senja Di Wailago


bila malam akan menjelang dan siang segera undur, berdoa saja tak ada jelaga hitam dilangit, maka akan selalu indah langit di ufuk barat. Saya sering terpaku menatap barat dan memimpikan momen ini sepanjang waktu. Pulau Besar berada di utara Maumere,ibukota Kabupaten Sikka terpisah selat pedang yang mengisolasi warga di pulau ini. Saya datang dua tahun lalu, melakukan grounded research disana, mendirikan rumah sekolah, dan memberikan satu pilihan kepada warga di sana yang tak mengenal huruf dan angka : membaca atau terlindas perubahan.

Sejarah Karet di Taman Nasional


Sejatinya, sebuah taman nasional itu ditumbuhi tanaman eksotis hutan dan tumbuhan endemik langka lainnya. Nah kok di Bukit Duabelas ini, tepatnya dalam kawasannya yang 65 ribu hektar, malah terdapat kebun-kebun karet milik orang rimba dan orang dusun? Jadinya aneh, pantes saja banyak konflik lahan, karena sejarah ‘tegaknya’ taman nasional sendiri menapikan sejarah penghuni asli wilayah itu. Orang rimba di taman nasional dianggap ahistoris yang harus mengalah demi konservasi. Padahal umur TNBD baru 8 tahun karena berdiri sejak tahun 2000 lalu. Tapi lucunya dibalik klaim berdirinya taman nasional tadi ternyata ‘ladang karet’ tradisionil masyarakat menjadi tercaplok ke dalam kawasan itu.

Wah mana buktinya? Kata kehutanan yang kadang memakai pendekatan legal formal alias klaim hukum untuk mengibuli masyarakat orang rimba yang menuntut soal lahan karetnya.
Baiklah ini buktinya seperti narasi dalam tulisan dan photo tentang ‘getah’ di atas. Photo itu diambil di wilayah utara barat Taman Nasional, tepatnya di hutan Sungai Makekal agak hilir. Itu lokasi ditengah taman nasional, dan umur pohon karet produktif ini, jelas-jelas lebih dahulu dibandingkan taman nasional. Pohon karet adalah tanaman non endemic sumatera, pohon itu asalnya dari brazil, yang dibawa ke Indonesia bersamaan dengan masuknya pendatang dari luar nusantara.
Memasuki masa produksi pohon karet butuh waktu sekitar 10 tahunan atau lebih. Begitulah, maka tak tepat klaim kehutanan tersebut bila berdasar pada bukti legal. Sejak dari nenek moyang, orang melayu jambi dan orang rimba tak mengenal apa itu sertifikat tanah sebagai bukti sah. Kepemilikan diakui berdasarkan keberadaan tanaman diatasnya. Siapa yang membuka pertama sebuah lahan atau hutan lalu menanaminya maka itulah tuhan atau pemilik tanah dan kebun tersebut.

Mari dengar pernyataan seorang Tumenggung – pemimpin adat - di rombong air panas sisi selatan Taman Nasional Bukit Duabelas saat berkonflik dengan KSDA dan dinas kehutanan tahun 2006. Saya kutip kata-kata beliau menyangkut keresahan komunitas adat saat terancam diusir Negara akibat terbitnya RPTNBD atau Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas.
“Kami tidak mengerti undang-undang Negara, yang kami ngerti bahwa kami punya adat dan undang-undang nenek moyang, sejak langit naik dan bumi terciptai kami tinggal disini lah, Negara hanya datang belakangan ke hutan kami, seharusnya negara bertanya pada adat kami”
Ya ampun kalau begitu sudah jelas seharusnya, bagaimana ini tuan pemimpin yang ngatur Negara? Lah jangan niru-niru cara kompeni jaman VOC dulu. Inget lho, sekecil-kecilnya semut, kalau diinjek, satu atau dua ekor atau beramai-ramai pasti aja sanggup gigit itu kaki kompeni.

Rumah Ladang : Kukuruyuk-Kukuruyuk


Senja cuaca mendung, langit sesaat lagi kelam, gerimis mulai turun, saya terpaksa tak melanjutkan perjalanan, “ah, gimana ini?” Setapak di hutan makekal semakin tak terlihat, saya berjalan oleng tak konsen lagi, sebentar-sebentar terjatuh lemas, “kukuruyuk,kukuruyuk” Ada yang berbunyi seperti ‘cacing’ di perut ini. ah tandanya lapar kalau begitu. Tapi kok kukuruyuk? Ah persetan apapun jenis bunyi diperut ini, yang jelas jalan masih jauh setengah harian lagi ke depan, disana tujuan kami dibalik dua buah bukit. Hujan lalu turun lebat sekali membasahi hutan dataran tropis di jantung sumatera ini.

“Sebaiknya kita menginap, besok pagi dilanjutkan" kata teman saya yang asli Makekal. Dimana kita bermalam, bagaimana ini? saya bingung karena kami tak bawa tenda dan makanan cukup. Ah beginilah kalau cocongoron alias sombong merasa hebat takakan tersesat. Seharusnya saya antisipasi hal terburuk sekalipun, apalagi ceritanya mau jalan di hutan. Saya dengan teman ini terus berjalan tak pasti, kelaparan, dan terus teriak-teriak berharap ada orang disekitar kami yang mendengar.

"Siapooo" Sahut-sahut dari jauh suara orang menyakan siapa kami.
“Kamia sosot ndok mati tekarot” Teman rimba saya teriak membalas dan berkata bahwa kami tersesat dan mau mati karena kelaparan.
“Kemaaii” teriaknya mengundang kami datang.
Ah dasar teman saya ini senangnya hiperbolis, gak mungkin deh mati karena gak makan setengah hari. Laper memang laper, tapi saya masih ingat, kami berdua makan nasi bungkus gulai ikan dari RM Minang Raso di luar hutan sebelum masuk hutan Makekal. Tapi biarin aja, saya butuh shelter untuk melewati malam hujan terkutuk ini. Brrrrrr,.. kami gemeletuk kedinginan sambil merayap dikegelapan menuju suara undangan mampir itu.
“Oh, Bujang lapuk, noeklah anggo rumah guding, akeh ado ubi kayu” Rupanya ini rumah seorang bapak yang saya kenal juga, namanya tak perlu disebut, dia bilang setengah menghina saya soal status bujangan saya. Tapi ia mempersilahkan naik ke rumahnya, tepatnya lagi rumah di tengah ladang yang sekelilingnya hutan belantara.

Pemukiman orang rimba selalu dekat dengan sungai dan dengan tetangga terdekatnya berjarak relatif, paling dekat sejarak saling terdengar saat berteriak.
Ubi kayu rebusnya sudah dingin karena sejak sore dia masak, saya tak tahu diuntung dengan kebaikannya. “ada yang hangot guding?” Maksudnya saya tanya ada yang panas? Dia menggeleng dan hanya memonyongkan mulutnya ke arah luar menunjuk pepohonan ubi kayu yang tertanam di hamparan ladangnya yang sudah gelap. “kalau mau ambil di kiun” Kata dia lagi menyilahkan saya mencari dan mencabut sendirin jika mau ubi kayu hangat. Ah hari sudah malam, saya telan saja ubi kayu dingin ini, daripada harus mencabuti batang ubi kayu sendiri.
Esok paginya. Saya disuguhi lagi ubi kayu yang panas dan nikmat sebagai sarapan.Terima kasih kawan, lalu saya pamit, lalu kami berjalan lagi, menyusuri setapak, melanjut perjalanan yang tertunda semalam.

Senin, 07 April 2008

Yang Datang dan Yang Pergi


Suatu hari datang ke sokola rimba di Sakonapo seorang murid yang sudah seminggu ini tak kelihatan belajar. Dia datang sambil tersenyum dan menjawab dengan pelan apa yang saya tanyakan.

“Kemana saja kawan selama ini?”
“Ake pergi bermalam bantu kanti menuoi padi”
Begitu jawabnya yang artinya saya pergi menginap bantu orang memanen padi.

Dia mengatakan lagi bahwa panenan belum selesai dan ia bermaksud mengambil bukunya agar ia bisa belajar sambil membantu memanen.

Oh mengharukan sekali mendengar tujuan dia datang, saya suruh ambil itu buku miliknya, dan saya tambah terharu saat sebelum pergi ia mengerjakan sebentar latihan-latihan yang seharusnya ia kerjakan nanti di tempat panenan sambil tengkurep beralas matras di halaman sokola rimba.

Sehabis makan siang bersama di sokola rimba, ia pamitan untuk pergi lagi, ”Berapa lama kawan pergi guding?” Tanya saya kepadanya.“Eh entah” Ujarnya sambil berjalan mantap meninggalkan sejenak sokola rimba di Sako Napo Makekal Hulu..

Selepas kepergiannya, datang pula murid yang lain, yang sama menghilang karena kesibukan di rombongnya. Tapi yang ini lain,dia baru pulang kerja rotan dari Rimba Telay agak 30 kilo meteran dari rimba Makekal.

“Mumpamono ado hasil?” tanya saya menanyakan hasil kerjaannya di Rimba Telay,
Ujar murid itu katanya lumayan sambil dijelaskan bahwa dari hasil ikut kerja rotan itu ia bisa membelikan gula dan tembakau buat orang tuanya.

Ah, hebatnya anak-anak ini, karena setelah selesai menunaikan tugas dan bantuan kecil untuk orang disekitarnya ia akan belajar lagi. Teruslah belajar dan jangan pernah berhenti karena persoalan hidup tak akan pernah berhenti.

Ambung Tikar dan Kesetaraan Gender


Kehidupan semi nomadik di relung berburu dan meramu di kawasan hutan ini bisa tergambar dari peralatan hidup yang dipakainya. Ambung dan tikar misalnya, alat bantu ini lantas menjadi sesuatu yang paling berkontribusi dalam mendukung gaya hidup mereka sejak ratusan tahun di kawasan hutan yang kini di klaim sepihak menjadi Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).

Ambung dan tikar juga bermakna simbolik bahwa suku ini memang bisa kapan saja pergi dan kapan saja tinggal di kawasan tertentu tanpa harus merepotkan siapapun. Easy come easy go mungkin pas buat menyatakan kebiasaan berpindah mereka, itu pun menurut saya.Orang Rimba kerap menyingkir menghindari konflik, berpindah ketika kematian menimpa, mereka juga saling berkirim dan berbagi makanan kepada kerabatnya, dan yang membuat mereka selalu bergerak secara terukur adalah bahwa siklus musim-musim sumber pangan mereka juga harus didapatkan dengan cara ‘bergerak’ ke arah sumbernya.

Ambung sebagai keranjang dapat memuat semua perbekalan saat bergerak ke sumber pangan. Lalu dengan ambung itu pula orang rimba saling mendistribusikan sumber pangan hasil hutannya untuk keberlangsungan setiap rombong. Tikar pun demikian, ia berguna sebagai alas tidur saat lelah bergerak di hutan. Tikar perlambang kemerdekaan mereka dalam menentukan dimana dan kapan mereka harus bermalam dan berpindah.

Ambung dan tikar disebut perbuatan betina karena jenis kelamin inilah yang memiliki skill membuatnya saat mengisi waktu luang. Meski betina yang membuat namun menjadi hak milik laki-laki di dalam pengaturan adatnya. Sebaliknya membuka ladang, berburu, mencari rotan, mengangkut hasil buruan, dan pekerjaan berat yang membutuhkan tenaga dan daya jelajah jauh adalah kewajiban para lelaki untuk mengerjakannya. Namun selanjutnya kepemilikan perbuatan jenton ini menjadi hak milik perempuan dikemudian hari..

Dengan mekanisme pengaturan hak milik seperti ini maka perceraian menjadi hal yang paling ditakutkan oleh lelaki, di sini semua suami takut pada bini, karena apa? Bila perceraian terjadi maka laki-laki hanya berhak atas sebuah ambung, tikar, dan parang saja. Sementara ladang dan kebun yang dibuka dan dihasilkan selama menikah akan jatuh menjadi hak milik perempuan. Terbayang sudah bahwa laki-laki akan mulai hidup dari nol lagi jika mencampok atau menceraikan istrinya.

Oh kalau adatnya seperti itu, itu menindas lelaki, mengapa ada ketidakadilan gender bagi kaum lelaki dalam mekanisme adat mereka? Wah harus disosialisasikan dong pemahaman gender dan apa itu ‘persamaan hak’. Seperti itu mungkin yang dipikirkan oleh para aktivis gender. Siap jender! ngaco ah maksutnya siap jenderal.

Aih-aih bukan itu intinya, keadilan dan kesetaraan itu relative bro, dianggap adil bila masing-masing kelamin sadar diposisi mana ia berada dan memaklumi alasan perlakuan tersebut. Lelaki di rimba itu mengetahui bahwa istri-istri mereka juga bertaruh nyawa saat melahirkan dan bekerja keras mengasuh anak-anaknya. Lelaki rimba juga memahami bahwa betina memiliki keterbatasan lahiriah dengan status kewanitaannya. Siapa yang akan bertanggung jawab memberinya makan bila perceraian terjadi dan si perempuan tak punya ladang dan kebun?

Jadinya malu aja jika kaum sekuat kita merencanakan bikin sebuah koalisi lelaki untuk menyuarakan kesetaraan gender bagi pria yang tertindas oleh sistem budaya yang pro perempuan. “Idih kagak deh”

Hai para feminis apakah kalian menyadari betapa tegarnya seorang lelaki selama ini dalam menghadapi realitas kehidupan yang berat sebelah itu?

Sabtu, 22 Maret 2008

Pada Suatu Sore


Dibingkai sebatang pohon meranti yang roboh, beratap langit transisi, saya tiba-tiba sentimentil dibatas siang dan malam kala itu. orang rimba menyebutnya puang nyimpoy untuk suasana demikian.Puang nyimpoy sederhananya saat langit seperti jingga langit makekal sore itu

Hutan Makekal lima tahun lalu masih ada dibelakang pohon tertinggi dibingkai itu sejauh ratusan depa, hijau, rapat, dan lembab. Kini tepat saya berdiri di batas transisi antara bukaan ladang baru dan hutan tersisa, saya memotret tanda-tanda kepunahan. Saya harus berjalan agak jauh untuk mandi di musim kering tahun ini, semua anak sungai kering dihisap kemarau, hulu-hulu sungai hutannya rusak, bukaan dimana-mana.

Sayup-sayup kepak sayap sepasang burung rangkong gading atau hornbill menderu membelah langit menuju pohon yang menjadi sarangnya.

Keindahan langit makekal sore itu menyembunyikan kekuatiran orang-orang rimba di Makekal Hulu, akan desakan, dan degradasi hutan adatnya oleh macam-macam tekanan. Semua akan sentimentil rasanya bila harus menjadi saksi punahnya sebuah tradisi relung pemburu dan peramu oleh perubahan fisik hutannya.

Tak akan saya temukan lagi pemburu hebat macam gaek di pengelaworon bila hutan sudah tak ada lagi. Perubahan fungsi hutan menjadi ladang-ladang pertanian bukan masalah fisik belaka, fenomena ini juga menandai satu perubahan dramatis, perubahan gaya hidup : dari berburu dan meramu yang semi nomad ke pertanian yang semi menetap. Ada banyak waktu yang tersita atas pilihan itu, dan berburu akan dijadikan hanya selingan, lalu ditinggalkan sama sekali setelah hutan semua berubah menjadi pertanian.

Dikemanakan ilmu perburuan hebat itu nantinya? Dan akankah saya temukan lagi suku beridentitas orang rimba di tahun-tahun di hadap?

Malam itu sepulang mandi di makekal, saya makan malam, lalu merokok, lalu ngobrol sebentar, lalu lihat-lihat anak-anak rimba belajar, ketawa-ketiwi berpantun, lalu siap-siap tidur. Lokasi sokola rimba pun berpindah semakin ke dalam, kini tepat di patok taman nasional, dulu kami jauh ke depan di sungai kedundung jehat sejarak ratusan depa dibelakang pohon tertinggi di bingkai poto itu.

Malam makin larut, saya masih tak bisa tidur, ada tumpahan kopi di tikar, semut berkerumun pesta manis sambil sekalian gigitin punggung saya yang atletis. Oh betapa menjengkelkan semut sialan ini, kalau begini saya tak mungkin bisa tidur, Ya Iya Lah, kirain karena sentimentil?

Selasa, 18 Maret 2008

Cerita Katapel


Seorang raksasa dalam dongeng masa kecil yang di citrakan jahat yakni Goliath mungkin mengenang senjata tradisionil katapel sebagai hal yang paling ia benci dibandingkan David si pemilik katapel. Sekali jepretan pake batu dengan akurasi tinggi membuat Goliath tewas dan sejak itu ia menjadi legenda yang dikutip beragam kitab suci sebagi the hollymen yang berhasil mengalahkan ‘kejahatan’. Kisah David dan Goliath bahkan menjadi simbolisasi penyemangat kaum minoritas dan pihak kuda hitam tentang ‘mimpi’ yang bisa diraih. Katapel rupanya bersejarah dan disebut-sebut di kitab suci yang dianut milyaran manusia.

Sanggupkah David membunuh Goliath bila tak menggunakan Katapelnya? Matikah Goliath bila bukan David yang ngetapel?

Beurat pisan pertanyaannya bro, kayak filsuf. Biar gak pusing begini saja pertanyaannya bro, saya bayangin katapel david itu segede pintu dan pelornya batu segede kepala orang dewasa karena sekali ‘hajar’ raksasa bisa is death, segede apa tangan david bro? Mungkin sama ukurannya dengan betis Ade Rai, lupain analisis ngawur itu, jas kiding bro.

Yang pasti. Tentang legenda David ini ibu saya menyebutkannya sebagai Daud, dia seorang yang dipercaya oleh agama yang saya imani sebagai nabi. Orang suci saja memakai katapel sebagai senjata terbaik untuk melawan kejahatan raksasa tersebut. Tapi kenapa bro, sewaktu saya tergila-gila maen ketepel (bhs sunda red) pas lagi kecil selalu dilarang-larang atau kalau saya bedegong (bandel) tetep ngetepelin something saya suka diwanti-wanti untuk ekstra hati-hati. Itu pesan ayah saya sewaktu masih hidup. Katanya membahayakan keselamatan orang sekitar. Jadi harus jangan pake batu, mesti pake tanah ATAU yang lembek-lembek. Maklum anak kecil suka pengen tahu, maka saya menanyakan dengan kritis alasannya itu.

“Kenapa harus pake tanah liat pak?” Kata saya waktu itu dengan lugunya.
“Ya harus tanah liat karena kalau pake baso atau combro enak di orang” Kata beliau yang selalu saja saya merasa kehilangan atas kepergiannya.

Jaman itu pas saya kecil memang belum ada game-game model Play station, jaman baheula mohon dimaklum, namun saya menyukuri ke baheula-an itu. Karena saya dipaksa rada kreatif untuk membuat mainannya sendiri dari bahan yang ada, pokoknya mah bro jaman itu jaman ramah lingkungan serba alami. Dengan ketepel saya dilatih akurasi dan bergerak sambil melontarkan batu atau kelereng, dan kalo ada bapak pake tanah, sasarannya jambu atau buah-buahan tetangga, benda bergerak atau kaleng sebagai target. Saya mengasah naluriah mempertahankan diri karena ketepel,siapa tahu ada perang dengan Belanda lagi bro, sebelum merebut senjata musuh mungkin saya akan pake ketepel,

“prakk, aduh, kehed siah” maksudnya itu suara orang tak sengaja kena ketepel dan mengumpat kehed yang artinya kurang ajar alias sompret loe

Sejak kejadian itu, bapak mengambil ketepel saya dan entah sampai sekarang kemana fosil senjata masa kecil saya itu bro karena orang tersebut harus diobati ke rumah sakit muhamadyah setelah itu. Benjol dan sobek 6 jahitan dikepalanya. Bapak saya agak marah dan sejak itu saya ucapkan ‘gudbay’ buat katapel.

“Kenapa tidak nurut bapak? Kan sudah dibilang pake tanah?”
“Saya pake tanah pak”
“Lha ini buktinya orang bocor dan dia bilang pake batu”
“Memang batu pak,tapikan batu asalnya dari tanah”
(Obrolan itu diterjemahkan dari percakapan bahasa sunda)

Bapak nyerengeh alias ketawa sedikit sambil manggut-manggut,”pinter anak bapak, pinter, ciatt wadejiksss”

Namun Tuhan serba kuasa mengatur reunian saya dengan kenangan masa kecil itu. Saya kebetulan punya kerjaan bersama orang rimba di hutan Makekal, sisi barat taman nasional bukit duabelas di jambi. Katapel di sebut Peci oleh anak-anak rimba di sana, dan ngetapel dibilang memecion. Hampir semua anak punya peci dan lihay membidik apapun dan biasanya burung atau tupay, atau apapun yang penting bisa jadi lauk makan. Itulah bedanya katapel di masa kecil saya dengan memecion di anak-anak rimba. Di sini katapel adalah pola enkulturasi adat kerimbaan untuk mempertahankan keberlangsungan juga latihan diri untuk ‘perburuan sesungguhnya’. Juga saat komunitas ini direncanakan akan dikeluarkan dari hutan sebagai konsekuensi aturan zonasi taman nasional, sahabat kecil saya, penangguk dengan tegas bilang bahwa ia akan peci kepala orang yang akan mengusirnya,

“Meski kaloh tetap kami lawon”

Duh penangguk, betapa kagum saya dibuatnya. Sekecil itu ia menyadari bahwa hak-nya mesti diperjuangkan meski hanya dengan sebuah katapel, tanah liat seambung, karet bekas ban dalam bernama benen dan ubi kayu rebus.

Dedaunan basah dan setapak berlumput selama hujan, burung pun tak berbunyi, hujan membuat burung-burung itu lega sejenak, “ah damai dan amannya jiwa-jiwa kami” Demikian mungkin isi hati kaum burung di saat hujan, karena hujan membuat anak-anak rimba mengistirahatkan sejenak katapelnya untuk kembali belajar di ruma sokola. .

Sabtu, 15 Maret 2008

aspirasi di bukit setan


Ini bukan cerita silat dan bukan pula cerita tentang persekutuan manusia dengan iblis, ini hanya kisah sebuah penemuan. Istilah inteleknya discovery – lihat kamus kalau-kalau salah. Kumulai saja kisah ini -- dengan seijin sahabat kecilku Sertu Tampung yang photonya aku sertakan – dan berharap apa yang sedang diperjuangkan oleh komunitasnya dimana sertu hidup berbunyi nyaring dan dibaca orang. Khususnya bagi orang yang keasikan di dunia maya. Mari sejenak turun membumi Bro.

Lima tahun yang lalu, sejak henpon dibawa-bawa ke hutan makekal, aku hanya pergunakan alat itu sebatas sebagai kalkulator atau main game. Aku nyalakan sewaktu-waktu hanya sebagai penerang saat darurat di hutan dan itu pun kalo senter ku kehabisan batere. Tak berfungsi sebagaimana mestinya itu henpon. Maap-maap saja bro tempat dimana sertu tinggal – hutan di kawasan taman nasional bukit duabelas – adalah wilayah blankspot alias gak ada sinyal.

Life goes on dan semua berubah tiga tahun yang lalu sejak ‘korporasi’ berbasis telekomunikasi meluaskan pasarnya di kota Bangko -- kota terdekat dengan wilayah hutan Makekal dimana sertu tinggal – sejak itu akibat tower sinyal berdiri dimana-mana maka sinyal henpon tanpa sengaja bisa didapatkan dengan sedikit usaha dan pencarian yang melelahkan. Pucuk-pucuk bukit adalah tempat yang kerap aku datangi untuk pencarian ini, tak selalu bawa hasil, sepanjang ada waktu luang aku selalu mencari bukit yang lain lagi.

Sampai akhirnya kutemukan sebuah bukit bernama bukit Keluhu Tetunu. Keluhu itu nama orang rimba, sementara tetunu itu artinya kebakar. Si keluhu terbakar dibukit itu, demikian cerita menurut mitos orang rimba Makekal dibalik nama bukit itu. Penemuan tak sengaja dengan sinyal ini, waktu itu saya melintas dengan motor sewaktu masuk hutan makekal sehabis ke pasar membeli logistic, tiba-tiba kudengar bunyi ‘tit’ tanda sms masuk. Setengah kaget kubuka pesan di inbox, kubaca, ah betul juga, ada sinyal di sini. Pengennya berlama-lama di situ, saya hanya reply saja karena hari mulai gelap. Perbukitan ini sering dilalui beruang yang mencari madu, aku takut dan cabut segera menuju lokasi tempatku kerja di sokola rimba.

Esoknya kukabari semua, tentang penemuan ini, semua rekan kerja ‘berbinar-binar’, lalu segera kami berangkat ke tempat itu. Berombongan di temani sahabat kecilku. Di tempat yang aku tandai aku nyalakan henponku dan langsung kucoba hubungi seseorang, nyambung bro dan diangkat. Tak segera kubalas halo darinya, aku malah jingkrak kegirangan, dan sahabat kecilku tertawa campur heran. Selanjutnya aku larut ngomong dengannya, ngomong sendiri, senyum dan ketawa sendiri, seperti orang gila kata anak-anak rimba yang mengantarku waktu itu. Waktu kusebut bahwa orng yang aku telpon sedang berada di kota Yogyakarta -- dimana dipisahkan jarak ribuan kilo terpisah laut bernama selat sunda dengan Jambi -- maka semua keheranan dan rebutan ingin ikut ngomong dengan orang yang aku telpon. “Eh tuhan kuaso, nioma bukit setan” Kata mereka yang keheranan dengan cara kerja sinyal dan henpon ini yang bekerja ibarat setan tak terlihat..

Tak ada jarak lagi kini, teknologi mengatasi kendala itu, namun aku harus menerima kenyataan lain bahwa kekuatan capital mampu menjangkau dan menerjang wilayah terpelosok sekalipun.

Hari berikutnya, berharap seperti orang luar yang memiliki henpon, anak-anak sokola rimba membuat henpon mainan dengan tanah liat, dan mencoba menirukan tingkah setiap orang saat ‘membuang pulsa’ di bukit setan.

“Begini pak kami pokonya tidak mau diusir dari taman nasional bukit duabelas, itukan hutan adat nenek puyang kami ?" Sertu beracting serius, kemudian " Apo pak? Hutan itu milik Negara? Negara mano pak? Apo gak jelas? Oh jadi sinyalnya lagi gangguan yah, nggak dengar yah? Hallow?”

Seperti itulah Sertu Tampung memimpikan aspirasinya dengan beracting lucu seolah menelpon kepala dinas kehutanan yang akhirnya tak mendengar suara Sertu karena alasan teknis gangguan sinyal. nggak denger apa nggak mau denger?

“Sertu coba telpon lagi kehutanon! mungkin kini lah sodah bagus sinyalnyo”

“Ah buang-buang pulsa bae, biarlah, sejak lamo kami bisa hidup dan menjego hutan tanpa harus ado kehutanon”

Nah lho, nggak enak kan di cuekin?

Kamis, 06 Maret 2008

kain dan simbolisasi adat


Sehelai kain tergeletak diatas papan, di setapak makekal, basah tanpa sempat diambil pemiliknya. Kain itu tepat berada di sebuah tempat yang kerap disebut pencibuk’on (jamban) tanpa dinding yang dilaui jalan setapak. Ini bukan kain sembarang kain? Di rimba ini dalam adat rimba makekal, kain adalah penanda agar saya hati-hati saat menapaki jalan setapak. Jangan selonong boy bro, di hutan ini ada tata kramanya, bahkan untuk mengatur para pejalan kaki yang melintas di dalamnya.

Mobilitas antar rombong, atau antar manusia di mungkinkan oleh sarana jalan setapak yang dibuat mereka. Setapak itu kadang melintasi ladang, kebun karet, rumah kerabatnya bahkan melewati langsung ‘jamban’ atau pencibuk’on tiap rumah tangga yang tentunya kita harus waspada bila menemuinya.

Yang aman dan sesuai adat adalah besasalung atau berteriak dulu, bilang apakah ada orang di sana tepatnya perempuan, kalau tidak ada maka lajulah kita melewati pencibok’on itu. Bila ada perempuan misalnya kita harus menunggu sampai mereka berteriak tanda sudah,
“Nompuhlah kamia lah sodaahhh”

Nempuhlah kami melewati pencibuk'on sebuah tubo. Tubo itu artinya rumah tangga bro. Oh ya bro, jalan setapak itu melewati sungai selebar dua meter, ada jembatan papan yang sekaligus dijadikan dermaga pencibuk'on, di tengah papan itulah kain itu tergeletak.

Apa yang terpikir akan kamu lakukan dengan itu kain bro? Ah jangan jail bro?

Kain adalah simbolisasi adat paling luhur : alat bayar denda dan penjagaan bagi perempuan. Perempuan memang nian dilindungi dengan strength oleh adati, ia mendapat perlakuan khusus untuk terhindar dari pengaruh jahat dunia luar. Hanya memegang kain tergeletak saja sudah labuh hukum cela tangan bro, dianggap pemilik kain itu telah dipegang kita yang bukan suami atau muhrimnya. Dendanya sejumlah kain bro. apalagi kalau kamu jail, itu kain dijadiin lap tangan misalnya atau di pindahkan dengan maksud dijemur, itu juga salah bro. Ulah heureuy di leuweung mah bro maksudnya jangan main-main kalo di hutan mah.

Cerita itu sungguh-sungguh, tak mengada-ngada, kebetulan waktu itu, saya harus lihat lokasi sekolah baru di Lubuk Bekerang. Sambil mendrop logistik makanan ke sekolah tersebut, sejam dari sekolah di sako napo, tepatnya di muara anjing merajuk, saya menemukan kain tersebut.

Rabu, 05 Maret 2008

Sekolah Kehidupan bagi Anak Tayawi


Sumber informasi paling terbaru kelompok suku asli halmahera ini didapat dari liputan koran lokal di Ternate yang memberitakan kunjungan seorang pejabat ke orang ‘togutil’ yang hidup di hutan-hutan sepanjang sungai Tayawi.

Siapa sesungguhnya ‘togutil itu? Apa makna nama itu sendiri di dalam intepretasi masyarakat suku asli di Halmahera bro?

Dipelajari lebih lanjut ternyata togutil itu sama makna dan nasibnya dengan istilah kubu bagi suku-suku asli di Jambi. Orang rimba bahkan menganggap kubu sebagai hinaan atas cara hidupnya yang berbeda dengan orang kebanyakan. Togutil apakah pernah kepikiran bahwa kata ini merupakan kependekan dari to go to the hill. Orang-orang yang tinggal di perbukitan, orang bukit, orang yang tak menetap, ah seterusnya disebut Togutil yang konotasinya liar dan tak beradab dipandang kita yang mengaku beradab.

Mereka disebut Orang Tayawi oleh warga pendatang di dusun dan lokasi transmigrasi di sekitar karena hidup di sepanjang hutan di sungai Tayawi. Dan beberapa kali mereka menyatakan ingin sekolah dan meminta pada pejabat yang mengunjungi mereka dalam koran itu. Seperti yang sudah-sudah, kunjungan itu hanya strategi kehumasan belaka, aspirasi orang tayawi ini tak pernah di gubrisnya. Itu kata mereka sendiri saat saya bilang saya tahu lokasi ini setelah membaca Koran.

Tempat itu dicapai beragam transportasi laut dan darat. Bikin cape bro dan mahal sekali ongkos menembus Halmahera. Jalanan buruk , apalagi hujan, tambah hebat kesulitannya. Namun itu sudahlah, toh kami ahirnya bisa ada di kelompok orang tayawi ini yang dipimpin seorang bernama Kahoho. Kahoho sudah tua, anggota kelompoknya adalah anak dan menantu, serta cucu-cucunya. Lebih pas di sebut keluarga besar. Sekilas diobrolan dengan salah satu menantunya tergambarkan bahwa orang tayawi ini pesimis pada masa depannya.. Kami orang-orang kalah dan terdesak terus oleh dunia luar.

Orang Tayawi menyebutkan dunia luar itu banyak macam : Perusahaan Tambang yang menggusur tanah leluhurnya, transmigrasi yang makan lahan luas, perkebunan besar milik swasta dan Negara, dan juga ‘peng-agama-an’ mereka oleh pihak luar. Kelompok mereka dianggap sekumpulan domba yang tersesat, kafir, dan bergelimang dosa dan menjadi sasaran pengagamaan. Sejak itulah orang-orang asli ini tercerai berai dan terdesak serta kehilangan identitasnya oleh ‘larangan-larangan terhadap ritual agama asli oleh agama baru yang menganggap dirinya sebagai agama resmi. Hilang sudah fundamental kebudayaannya bila ketuhanan asli di paksakan takluk terhadap tuhan yang baru, tuhan yang resmi, dan tuhan yang diakui Negara.

Negara dari hongkong? Kata kami dalam hati. Seperti itulah negeri kita bro, banyak benar masalahnya, seabrek bro. bahkan untuk urusan tuhan aja sukanya maksa-maksa, beragama kan hak asasi, ya gak bro? Begitulah ceritanya kenapa saya ada di sana, sudah 6 bulan lebih fasilitasi pendidikan bagi orang tayawi berlangsung, di pondok sederhana di tepi Sungai Tayawi yang jernih dan banyak udangnya.

Anak-anak Tayawi membutuhkan sekolah untuk kehidupannya : agar tak takluk lagi dihadapan dunia luar yang arogan menafsirkan makna kemajuan dalam satu tafsir.

Selasa, 04 Maret 2008

Jalan kaki berdarah


Ayo kita mulai dari kaki..Maksud saya dari jalan kaki. Sehat? Tentu saja, yang tidak menyenangkan dari jalan kaki adalah capenya itu, apalagi ditambah lapar, maka jalan kaki saat itu hal yang paling tak disarankan sebagai olah raga. Bayangin aja kalo lapar dan cape itu terjadi pas di bukaan kebun sawitan, panasnya bro kagak nahan. Ditambah kehausan maka lengkap sudah penderitaan itu. Eh awas juga itu tuh, binatang item kecil kenyal dan haus darah orang. Rentenir? Bukan ah, namanya pacot atau pacet sejenis lintah kecil yang senang menghisap darah pejalan kaki di hutan makekal itu. Si pacot ini senang menempel di segala penjuru tubuh kita. Ati-ati bro, saya pernah menemukan pacot yang sudah sebesar jempol menempel di selangkangan saat mandi, dia sudah mati sendiri, ihh artinya sudah dua hari ia menempel? Amboi dah. Jangan diterusin.

Jalan setapak, jalan kaki cape berlapar-lapar, sambil mengajar baca tulis hitung, berbagi pengetahuan, tinggal bersama muridnya,terpencil didalam hutan, dan kakinya berdarah darah macam diatas? Mengapa kau memilih seperti itu? Katanya banyak mimpi di sokola rimba, itu nama lokasi program si pemilik kaki yang juga ngajar di sana bersama ibu guru rimba butet manurung.

Awalnya sih geli, tapi sekarang mah biasa katanya, cincay lah dapat diatasi. Digigit pacot jadi gatal sesudahnya,yang tak terbiasa akan korengan karena terus digaruk, wah gak bisa jadi peragawati dong karena kakinya korengan? Tapi pacot gak bahayain kesehatan kok, kata dokter Ati teman saya. Malah bagus dengan sering di gigit maka darah yang keluar akan mereproduksi lagi darah baru, itu bagus bukan? ah itu juga kata teman saya yang dokter.

Hai pemilik kaki berdarah, hutan makekal hulu masih seperti biasanya, kami sedang kerepotan menyiapkan makan pagi untuk semua murid dan gurunya. Sementara ini ‘janji’ pihak balai taman nasional bukit duabelas –yang dulu mau ngusir ke zona pemanfaatan di luar hutan – masih memainkan lagu lama, janji tinggal janji, kagak ada bukti. Banyak ngulur waktu dan banyak boongnya, kagak gentlemen lah. Betul sekali, komunitas tempat kami ngajar sedang berjuang untuk mendesak agar aturan zonasi di RPTNBD mengikuti tata kelola adat.
.
Eh kemana LSM konservasi yang selama ini juga mendampingi komunitas ini dalam misi konservasi?

“Nyuduk anggo rabah” alias lari sembunyi ke semak-semak begitu kata anak-anak rimba di sokola kami ketika mereka berjuang untuk kedaulatan adat dan tanah di hutan makekal.

Bunga-bunga bermekaran di hutan makekal. Penuh bunga di taman nasional ini, tapi wanginya tak semerbak. Mari jalan kaki lagi bro, menembus setapak yang lembab dan basah lagi dan berdarah – darah lagi kaki ini. wake up today is back to the deep forest.

Sabtu, 01 Maret 2008

Are U Ready Viking Boy



Sejak kecil aku menggilai sepakbola namun untuk memilih karier sebagai pemain rasa-rasanya tak menjanjikan waktu itu. Dan waktu pun bergulir hingga aku hanya bisa menjadi suporter sebuah klub bola dimana aku di besarkan. Hingga kini, saat aku terdampar dalam profesi yang mengharuskan merantau ke tanah seberang -- menjadi seorang antropolog -- sepakbola tetap tak bisa dilupakan sebagai tontonan yang paling mungkin bisa melupakan segala masalah berat sekalipun. Itulah alasan yang mendorong saya selalu rindu kotaku, kota dimana aku bisa memuaskan kegilaan itu.

Setahun yang lewat saya pulang ke Bandung sehabis menyelesaikan tugas-tugas pendampingan di pulau besar sebelah utara Maumere, Flores, NTT. Aku SMS sahabatku tentang kepulangan ini untuk memastikan jadwal pertandingan liga Indonesia yang bisa aku saksikan. “Welkom Back Bro, besok pertandingan besar jangan kemana-mana, Persib VS Persija”. Di pesawat itu hatiku berdebar aneh membaca sms sahabat saya ini. Aku tak sabar menunggu esok hingga ingin rasanya aku ambil alih kemudi pilot pesawat dan kutancap gas pesawat ini hingga melaju secepat yang kuinginkan.

Keesokannya aku lihat anak-anak se usia keponakanku terlalu dini ada di riuhnya ribuan suporter dalam suasana penuh sesak sebuah stadion. Seandainya ia ada di Inggris, mungkin dirinya akan nyaman saat menikmati liukan Christian Ronaldo atau Frank Lampard dalam suatu pertandingan bermutu dengan kenyamanan kelas satu di sebuah stadion. Khayalku buyar, ini negeri kita bro, sebuah pertandingan bola, yang tak ramah dengan anak. Anak-anak itu penuh perjuangan di sini, dihimpit di desak sejak di antrian masuk dan dikerangkeng seakan makhluk buas oleh sekat pagar kokoh : tinggi dan berjeruji kawat yang dijaga dengan ketat oleh aparat keamanan berbaju seragam. Sejak dini suporter cilik di belahan nengeri ini dihadapan struktur kebanyakan stadion sepakbola kita – dan oleh kecurigaan aparat sebagai biang kerusuhan -- ternyata diajarkan tanpa sadar untuk melakukan perlawanan simbolik dan demonstratif.

“Wasit Goblog” demikian tulisan di kaos salah satu anak itu, kita sama tahu bro, wasit kita aneh-aneh sejak ada mafia-nya.. Atau seperti yang kulihat salah satu anak ikut melempari petugas dengan botol akua karena terjadi insiden saat seorang penonton yang naik ke pagar dipukuli petugas : solidaritas kerumunan jadi keharusan. Bau pesing menguap di udara di tribun tersebut, tak ada WC layak bro, hingga tembok belakang tribun menjadi WC bersama ketika babak I berakhir. Sampai lupa bro, petugas di pintu stadion pun nakal-nakal memasukan penonton illegal dengan karcis keriting. Suporter cilik kita jadi terbiasa dengan segala ketidaklayakan dan dekadensi moralitas.

Bagaimana ini? Siapa yang bertanggung jawab bila kelak anak-anak ini lantas menjadi penerus hooliganisme bola yang sekarang diributkan? Ah khayalku buyar tentang ‘liga Inggris’ karena ini utopia yang tak akan terjadi bila ketua PSSInya saja sebagai pihak yang seharusnya bertanggung jawab menjalankan roda organisasinya dari balik jeruji. Negeri bola yang tak patut diteladani oleh anak-anak dan generasi suporter cilik lainnya. Saya gila bola bro saya ingin Revolusi di tubuh PSSI. Are U ready Viking Boy?

Jumat, 29 Februari 2008

Cut Hair Not Tree


Murid-murid sokola rimba memang nekat untuk urusan model rambut. Mereka memilih saling memotong rambut masing-masing dengan sesama temannya. Tak ayal hal ini membuat 'gaya' rambut tergantung mood si pemotong yang belum tentu menguasai benar keahlian seperti yang dimiliki Joni Andrean atau Mang Dadang -- orang Garut pemilik salon priangan yang menjadi langganan saya bila motong rambut di Bandung. Seperti yang di derita Penangguk dan Nyungsang Bungo karena kenekatan keduanya akhirnya rambut mereka amburadul plontos sebelah bagiannya setelah mereka berdua saling memotong rambut diantara mereka. "Kiri jabrik kanannya cepak, mirip illegal logging" kata Penguwar sambil meminta aku membereskan rambut kedua temannya itu.

Gunting memang selalu ada di list peralatan yang kami bawa ke sokola rimba, selain untuk menggunting kertas origami sebagai materi pelajaran juga untuk urusan seperti kenekatan dua murid tersebut.

sisir di tangan kiri, gunting di kanan, dibawah ruma sokola yang bertiang panggung, aku vermak rambut hasil illegal logging kedua anak tersebut.

"Woii mumpa kepalo hayom, belanguunnn" Ujar Penguwar setelah melihat hasil akhir model rambut kedua temannya. Katanya mirip kepala ayam model kedua temannya itu. "Tapi gaul" kataku untuk menghibur kedua anak tersebut yang terkaget-kaget. Tak ada jalan lain karena memang sebelumnya model keduanya rata sebelah bagian namun itu tak lama. Penangguk malah menuliskan I love Induk (aku cinta ibuku) di sebelah bagian sisi kiri Mohawk-nya sambil berjalan penuh kebanggaan setelah kuberitahu bahwa model ini sedang tren di kalangan Band di Bandung. Anak-anak rimba ini memang mengidolakan Peterpan yang disebutnya Band paling olen (enak) lagu-lagunya yang ia dengar dari MP3 di henpon saya. "Kau hancurkan hatiku, hancurkan lagi,..." Senandungnya.

Membagi Buruan, Membagi Kebahagiaan



Pagi sampai tengah hari hujan turun lebat sekali, angin menderu-deru membuat pepohonan menari-nari ke kanan dan kiri. Ini alamat buruk karena jalanan akan sulit ditembus kendaraan apapun. Mau nekad bisa saja asal tahu resikonya : motor trail kami – sibelalang tempur- akan nyangkut dan gak bisa keluar atau ke dalam hutan lagi. Kami kehabisan bahan makanan, tersisa hanya bawang dan tiga canting beras saja. Aku menunggu keajaiban jadinya, berharap segera usai hujan yang tak diinginkan ini dan segera mentari mengeringkan jalanan yang menghubungkan lokasi sokola rimba dengan pasar di luar sana. Menurut mitos setengah gila konon kita harus gantung celana dalam terbalik menengadah ke langit, “Ah tapi siapa yang mau memamerkan perlengkapan pribadinya seperti itu?” Tak ada sukarelawan yang mau ketika saya tawarkan untuk mengekspos celana dalamnya. “mendingan laper deh, tunggu besok aja” tutur rekanku sambil mencari-cari fosil-fosil biskuit yang mungkin tersisa di kotak kayu penyimpanan makanan.

“ Dapet Bro?”
“ Nihil coy, mau nih bawang setengah busuk?” sambil nyengir kelaperan

Aku menunggu saja sambil mencoba tidur-tiduran dan menghayal makanan siap saji dari layanan delivery service, tapi ini utopia yang tak mungkin terjadi. Hujan mereda selepas jam 1 siang, perut semua tim dan murid sokola rimba baru terisi air kopi atau teh saja di menu sarapan tadi pagi, “eh tuhan kamia tekarot” Gerutu Beconteng (9 thn) sambil memegang perutnya yang buncit minta di isi.

Every minute is miracle. Sehabis hujan yang menyisakan tetes-tetesnya dari dedaunan saja , sekelebat lamat-lamat terdengar suara teriakan, “Woiii bepak bulih rusa!” Aku terperanjat, sekejap kemudian, semua orang berlarian turun dari ruma sokola kami yang berbentuk panggung mengejar arah suara. Benar saja, seorang lelaki dewasa yang aku sudah mengenalnya menggendong rusa jantan hasil jeratnya yang ia pasang 4 hari yang lalu. Orang-orang saling memantau dan memanggil kerabatnya yang tinggal di sekitar lokasi kegiatan belajar kami. Tak menunggu lama, semua orang datang dan mengambil perannya masing-masing. Buruan menjadi hak perempuan untuk membaginya, demikian rusa tersebut, kini berada ditangan istri orang yang mendapatkannya. Orang sempu demikian istilah pihak yang menjadi pembagi lauk besar tersebut, ia berhak membagikan hasil buruan tersebut dengan takaran sama banyak ke setiap keluarga di sekitar hutan makekal tempat kami berkegiatan.

Sementara itu orang bulih – yang mendapatkan buruannya – akan mendapat porsi lebih atas jasanya mendapatkan rusa tersebut dengan mendapatkan panoy rusa tersebut. Panoy adalah bagian tertentu tubuh hewan buruan yang mesti dimakan orang bulih sebagai syarat agar perburuan yang dilakukan orang bulih berikutnya lancar dan tak mendapat sial.

“Hmm terbayang daging segar bumbu bawang yang nikmat,” Itulah kata hatiku saat jatah daging kami diberikan orang sempu dalam sebungkus daun. Beconteng – murid sokola rimba – matanya berbinar, aku pun demikian. Demikianlah kearifan adat di rimba Bukit Duabelas dalam membagi buruan yang sekaligus membawa kebahagiaan pada semua orang.

Hujan kembali turun namun asap kini membumbung di dapur kami yang beratap daun membawa aroma daging dipanggang. Terima kasih hujan atas nikmat yang sedang kami santap ini.

Kamis, 21 Februari 2008

memecion


Menosur namanya, sangat indah mendengarnya.
Setiap nama anak yg lahir selalu pemberian dukun atas petunjuk bahelo (dewa leluhurnya). Demikian kehidupan leluhurnya selalu diatur adat dan rimba mewadahi aktivitas kesehariannya.

Saya mengenalnya, ia salah satu murid yang belajar dari guru-guru SOKOLA yang mendatangi kediamannya di tengah kelebatan rimba makekal. Di sekolah itulah ia belajar membaca dan bersiasat terhadap perubahan agar ia tetap hidup bermartabat.

Seiring waktu berjalan, Menosur harus menyadari bahwa rimbanya kini terkepung, terdesak, dan terancam beragam masalah. Alih-alih melindungi hak komunitasnya, taman nasional yang ditetapkan pemerintah atas dorongan sebuah LSM konservasi malah hendak mengusirnya dengan cara halus.

Apa yang terjadi dengan nasib menosur kelak? Rasa-rasanya tak cukup bila hanya sekedar ‘memecion’ (main katapel) untuk melawannya. Tidak juga hanya sekedar kemampuan membaca dan berhitung karena penipu selalu punya modus lain untuk mengelabui mereka lagi. Menosur butuh pengetahuan yang mumpuni utk menyikapi perubahan yang terjadi di kehidupannya.

Selasa, 19 Februari 2008

God save the crew

Baiklah, terus terang saja saya benci makhluk keparat ini. Ia mendengung dan menggigit setiap saat. Lalu kemudian ia mewarisi penyakit kutukan yang tak bisa disembuhkan. Tahun-tahun yang sibuk dan saya harus sedih mendengar beberapa kabar buruk. Sekolah pulau di Maumere sana: Dedi sang arsitek digigitnya lalu beberapa volunteer bergantian masuk rumah sakit karenanya.

Di makassar, Oceu yang bertanggung jawab dalam kegiatan sekolah pesisir, tergolek dan harus opname. Di Jambi, di bukit 12, korban berjatuhan dan dibaptis oleh makhluk ini. Butet kena, Rubi juga, lalu Stevi dan yah, saya pun terkena kutukan penyakit ini di bukit 12 empat tahun yang lalu.

Sejak makhluk ini menggigit, saya harus menyimpan pil-pil pahit disetiap perjalanan. Kabar teranyar, ibu direktur, Butet Manurung, dari Ternate memberi kabar yang menyedihkan lewat sms, “Dod, aku masuk rumah sakit, tolong kamu segera menyusul ke sini.”

Saya meradang merutuki makhluk pembawa penyakit kutukan daerah tropis ini.
Sekian dulu bro, ini hanya kisah tentang crew sokola: komunitas penderita malaria…

Sokola Rimba


Pagi masih temaram, hujan semalam membuat dingin menusuk tulang. Saya rapatkan sleeping bag. Orang Rimba menyebut suasana pagi demikian dengan ’tarang laroy’. Saya lihat jam masih setengah enam namun murid-murid sokola rimba sudah sigap menyiapkan sarapan pagi. Semalam mereka belajar sampai larut namun secepat itulah mereka terjaga.

Ada 20an murid rimba dan semuanya membagi diri dlm tugas. Sebagian mencari kayu api, cuci piring dan periuk, menanak nasi, menjerang air dan bermasak. Setelah siap, pinggan (piring) ditebar dan ransum dibagi sama rata sesuai jumlah anak dan para guru.

Para guru masih tidur dan mereka akan bangun setelah mandi dan santapan siap. Selanjutnya? Para murid biasanya memilih waktunya sendiri untuk kegiatan hari itu. Ada yang langsung meminta belajar lagi dan ada yang bermain-main saja sampai mood belajar mereka muncul. Inilah suasana belajar sokola rimba: tak ada waktu terjadwal dan tak ada kepatuhan yang dipaksakan.

Sokola rimba seperti istilah keren di kota dengan nama boarding school: murid menginap, makan, dan tidur di ruma sokola. Bedanya, sokola rimba gratis dan tak harus anak orang kaya spt boarding school di kota. Orang tua mereka berada di tempat yang jauhnya beragam dari lokasi sokola. Ada yang dekat dan ada yang jauh. Seperti suatu siang, seorang induk (ibu) datang menengok anaknya sambil membawa ikan sebagai kiriman buat anaknya. Sertu, nama anak yang ditengok induk tersebut, terlihat manja dan dibelai dengan penuh kasih sayang. Hari itu saya menjadi yakin, bahwa kasih ibu tanpa batas, kasih ibu tak terbalas. Hari yang sentimentil. Ah, saya lama tak pulang, saya merindukan sang ibu di rumah.

Lahir, Tumbuh, Bebas


Tak ada impian menyenangkan selain menjadi diri sendiri. Dan tak ada yang lebih menyengsarakan selain dikuasai orang. Sampai langkah ini kembali saya ayunkan ke tengah-tengah ‘sahabat’ kecil saya yang masih saja mencintai hutannya.

Menosur, Becayo,penangguk, Sertu, Berapit, Penguwar dan anak-anak Orang Rimba lainnya di Makekal Hulu, kawasan hutan Bukit 12 Jambi. Mereka masih saja memegang katapel (peci) dan membidik setiap yang bergerak di atas atau yang hinggap di pepohonan. Tupai dan burung adalah target peluru katapel mereka.

“Prak!” bunyi peluru menerpa dedaunan menjadi suara harapan karena mereka akan menjadikan sasarannya sebagai lauk makan mereka. Anak-anak Orang Rimba memang harus gesit, tangkas, rajin, dan kuat karena hutan tak memberi ruang bagi kemalasan.

Semua yang jadi sumber makanan dan tradisi-tradisi leluhurnya ada di setiap relung hutan. Hutan Makekal sejak tahun 2000 menjadi kawasan Taman Nasional Bukit 12 dan anak-anak ini kini dipaksa ‘tunduk’ oleh aturan yang akan mengganggu kebebasannya memilih binatang yang disukainya sebagai target katapelnya.

“Kamia akan melawan, meski kaloh kami akan teruy melawan, kami akan peci kepalonye kalu orang usir kami dari rimba nio.”

Dalam ingatan bersama anak-anak Makekal, hutan bukan hanya sumber kehidupan orang tuanya namun lebih dari itu hutan adalah tempat mereka bermain. Setelah puas memecion, anak-anak tersebut lalu belajar kembali di ruma sokola yg tegak berdiri di tengah-tengah persoalan keseharian mereka.