Sabtu, 22 Maret 2008

Pada Suatu Sore


Dibingkai sebatang pohon meranti yang roboh, beratap langit transisi, saya tiba-tiba sentimentil dibatas siang dan malam kala itu. orang rimba menyebutnya puang nyimpoy untuk suasana demikian.Puang nyimpoy sederhananya saat langit seperti jingga langit makekal sore itu

Hutan Makekal lima tahun lalu masih ada dibelakang pohon tertinggi dibingkai itu sejauh ratusan depa, hijau, rapat, dan lembab. Kini tepat saya berdiri di batas transisi antara bukaan ladang baru dan hutan tersisa, saya memotret tanda-tanda kepunahan. Saya harus berjalan agak jauh untuk mandi di musim kering tahun ini, semua anak sungai kering dihisap kemarau, hulu-hulu sungai hutannya rusak, bukaan dimana-mana.

Sayup-sayup kepak sayap sepasang burung rangkong gading atau hornbill menderu membelah langit menuju pohon yang menjadi sarangnya.

Keindahan langit makekal sore itu menyembunyikan kekuatiran orang-orang rimba di Makekal Hulu, akan desakan, dan degradasi hutan adatnya oleh macam-macam tekanan. Semua akan sentimentil rasanya bila harus menjadi saksi punahnya sebuah tradisi relung pemburu dan peramu oleh perubahan fisik hutannya.

Tak akan saya temukan lagi pemburu hebat macam gaek di pengelaworon bila hutan sudah tak ada lagi. Perubahan fungsi hutan menjadi ladang-ladang pertanian bukan masalah fisik belaka, fenomena ini juga menandai satu perubahan dramatis, perubahan gaya hidup : dari berburu dan meramu yang semi nomad ke pertanian yang semi menetap. Ada banyak waktu yang tersita atas pilihan itu, dan berburu akan dijadikan hanya selingan, lalu ditinggalkan sama sekali setelah hutan semua berubah menjadi pertanian.

Dikemanakan ilmu perburuan hebat itu nantinya? Dan akankah saya temukan lagi suku beridentitas orang rimba di tahun-tahun di hadap?

Malam itu sepulang mandi di makekal, saya makan malam, lalu merokok, lalu ngobrol sebentar, lalu lihat-lihat anak-anak rimba belajar, ketawa-ketiwi berpantun, lalu siap-siap tidur. Lokasi sokola rimba pun berpindah semakin ke dalam, kini tepat di patok taman nasional, dulu kami jauh ke depan di sungai kedundung jehat sejarak ratusan depa dibelakang pohon tertinggi di bingkai poto itu.

Malam makin larut, saya masih tak bisa tidur, ada tumpahan kopi di tikar, semut berkerumun pesta manis sambil sekalian gigitin punggung saya yang atletis. Oh betapa menjengkelkan semut sialan ini, kalau begini saya tak mungkin bisa tidur, Ya Iya Lah, kirain karena sentimentil?

Selasa, 18 Maret 2008

Cerita Katapel


Seorang raksasa dalam dongeng masa kecil yang di citrakan jahat yakni Goliath mungkin mengenang senjata tradisionil katapel sebagai hal yang paling ia benci dibandingkan David si pemilik katapel. Sekali jepretan pake batu dengan akurasi tinggi membuat Goliath tewas dan sejak itu ia menjadi legenda yang dikutip beragam kitab suci sebagi the hollymen yang berhasil mengalahkan ‘kejahatan’. Kisah David dan Goliath bahkan menjadi simbolisasi penyemangat kaum minoritas dan pihak kuda hitam tentang ‘mimpi’ yang bisa diraih. Katapel rupanya bersejarah dan disebut-sebut di kitab suci yang dianut milyaran manusia.

Sanggupkah David membunuh Goliath bila tak menggunakan Katapelnya? Matikah Goliath bila bukan David yang ngetapel?

Beurat pisan pertanyaannya bro, kayak filsuf. Biar gak pusing begini saja pertanyaannya bro, saya bayangin katapel david itu segede pintu dan pelornya batu segede kepala orang dewasa karena sekali ‘hajar’ raksasa bisa is death, segede apa tangan david bro? Mungkin sama ukurannya dengan betis Ade Rai, lupain analisis ngawur itu, jas kiding bro.

Yang pasti. Tentang legenda David ini ibu saya menyebutkannya sebagai Daud, dia seorang yang dipercaya oleh agama yang saya imani sebagai nabi. Orang suci saja memakai katapel sebagai senjata terbaik untuk melawan kejahatan raksasa tersebut. Tapi kenapa bro, sewaktu saya tergila-gila maen ketepel (bhs sunda red) pas lagi kecil selalu dilarang-larang atau kalau saya bedegong (bandel) tetep ngetepelin something saya suka diwanti-wanti untuk ekstra hati-hati. Itu pesan ayah saya sewaktu masih hidup. Katanya membahayakan keselamatan orang sekitar. Jadi harus jangan pake batu, mesti pake tanah ATAU yang lembek-lembek. Maklum anak kecil suka pengen tahu, maka saya menanyakan dengan kritis alasannya itu.

“Kenapa harus pake tanah liat pak?” Kata saya waktu itu dengan lugunya.
“Ya harus tanah liat karena kalau pake baso atau combro enak di orang” Kata beliau yang selalu saja saya merasa kehilangan atas kepergiannya.

Jaman itu pas saya kecil memang belum ada game-game model Play station, jaman baheula mohon dimaklum, namun saya menyukuri ke baheula-an itu. Karena saya dipaksa rada kreatif untuk membuat mainannya sendiri dari bahan yang ada, pokoknya mah bro jaman itu jaman ramah lingkungan serba alami. Dengan ketepel saya dilatih akurasi dan bergerak sambil melontarkan batu atau kelereng, dan kalo ada bapak pake tanah, sasarannya jambu atau buah-buahan tetangga, benda bergerak atau kaleng sebagai target. Saya mengasah naluriah mempertahankan diri karena ketepel,siapa tahu ada perang dengan Belanda lagi bro, sebelum merebut senjata musuh mungkin saya akan pake ketepel,

“prakk, aduh, kehed siah” maksudnya itu suara orang tak sengaja kena ketepel dan mengumpat kehed yang artinya kurang ajar alias sompret loe

Sejak kejadian itu, bapak mengambil ketepel saya dan entah sampai sekarang kemana fosil senjata masa kecil saya itu bro karena orang tersebut harus diobati ke rumah sakit muhamadyah setelah itu. Benjol dan sobek 6 jahitan dikepalanya. Bapak saya agak marah dan sejak itu saya ucapkan ‘gudbay’ buat katapel.

“Kenapa tidak nurut bapak? Kan sudah dibilang pake tanah?”
“Saya pake tanah pak”
“Lha ini buktinya orang bocor dan dia bilang pake batu”
“Memang batu pak,tapikan batu asalnya dari tanah”
(Obrolan itu diterjemahkan dari percakapan bahasa sunda)

Bapak nyerengeh alias ketawa sedikit sambil manggut-manggut,”pinter anak bapak, pinter, ciatt wadejiksss”

Namun Tuhan serba kuasa mengatur reunian saya dengan kenangan masa kecil itu. Saya kebetulan punya kerjaan bersama orang rimba di hutan Makekal, sisi barat taman nasional bukit duabelas di jambi. Katapel di sebut Peci oleh anak-anak rimba di sana, dan ngetapel dibilang memecion. Hampir semua anak punya peci dan lihay membidik apapun dan biasanya burung atau tupay, atau apapun yang penting bisa jadi lauk makan. Itulah bedanya katapel di masa kecil saya dengan memecion di anak-anak rimba. Di sini katapel adalah pola enkulturasi adat kerimbaan untuk mempertahankan keberlangsungan juga latihan diri untuk ‘perburuan sesungguhnya’. Juga saat komunitas ini direncanakan akan dikeluarkan dari hutan sebagai konsekuensi aturan zonasi taman nasional, sahabat kecil saya, penangguk dengan tegas bilang bahwa ia akan peci kepala orang yang akan mengusirnya,

“Meski kaloh tetap kami lawon”

Duh penangguk, betapa kagum saya dibuatnya. Sekecil itu ia menyadari bahwa hak-nya mesti diperjuangkan meski hanya dengan sebuah katapel, tanah liat seambung, karet bekas ban dalam bernama benen dan ubi kayu rebus.

Dedaunan basah dan setapak berlumput selama hujan, burung pun tak berbunyi, hujan membuat burung-burung itu lega sejenak, “ah damai dan amannya jiwa-jiwa kami” Demikian mungkin isi hati kaum burung di saat hujan, karena hujan membuat anak-anak rimba mengistirahatkan sejenak katapelnya untuk kembali belajar di ruma sokola. .

Sabtu, 15 Maret 2008

aspirasi di bukit setan


Ini bukan cerita silat dan bukan pula cerita tentang persekutuan manusia dengan iblis, ini hanya kisah sebuah penemuan. Istilah inteleknya discovery – lihat kamus kalau-kalau salah. Kumulai saja kisah ini -- dengan seijin sahabat kecilku Sertu Tampung yang photonya aku sertakan – dan berharap apa yang sedang diperjuangkan oleh komunitasnya dimana sertu hidup berbunyi nyaring dan dibaca orang. Khususnya bagi orang yang keasikan di dunia maya. Mari sejenak turun membumi Bro.

Lima tahun yang lalu, sejak henpon dibawa-bawa ke hutan makekal, aku hanya pergunakan alat itu sebatas sebagai kalkulator atau main game. Aku nyalakan sewaktu-waktu hanya sebagai penerang saat darurat di hutan dan itu pun kalo senter ku kehabisan batere. Tak berfungsi sebagaimana mestinya itu henpon. Maap-maap saja bro tempat dimana sertu tinggal – hutan di kawasan taman nasional bukit duabelas – adalah wilayah blankspot alias gak ada sinyal.

Life goes on dan semua berubah tiga tahun yang lalu sejak ‘korporasi’ berbasis telekomunikasi meluaskan pasarnya di kota Bangko -- kota terdekat dengan wilayah hutan Makekal dimana sertu tinggal – sejak itu akibat tower sinyal berdiri dimana-mana maka sinyal henpon tanpa sengaja bisa didapatkan dengan sedikit usaha dan pencarian yang melelahkan. Pucuk-pucuk bukit adalah tempat yang kerap aku datangi untuk pencarian ini, tak selalu bawa hasil, sepanjang ada waktu luang aku selalu mencari bukit yang lain lagi.

Sampai akhirnya kutemukan sebuah bukit bernama bukit Keluhu Tetunu. Keluhu itu nama orang rimba, sementara tetunu itu artinya kebakar. Si keluhu terbakar dibukit itu, demikian cerita menurut mitos orang rimba Makekal dibalik nama bukit itu. Penemuan tak sengaja dengan sinyal ini, waktu itu saya melintas dengan motor sewaktu masuk hutan makekal sehabis ke pasar membeli logistic, tiba-tiba kudengar bunyi ‘tit’ tanda sms masuk. Setengah kaget kubuka pesan di inbox, kubaca, ah betul juga, ada sinyal di sini. Pengennya berlama-lama di situ, saya hanya reply saja karena hari mulai gelap. Perbukitan ini sering dilalui beruang yang mencari madu, aku takut dan cabut segera menuju lokasi tempatku kerja di sokola rimba.

Esoknya kukabari semua, tentang penemuan ini, semua rekan kerja ‘berbinar-binar’, lalu segera kami berangkat ke tempat itu. Berombongan di temani sahabat kecilku. Di tempat yang aku tandai aku nyalakan henponku dan langsung kucoba hubungi seseorang, nyambung bro dan diangkat. Tak segera kubalas halo darinya, aku malah jingkrak kegirangan, dan sahabat kecilku tertawa campur heran. Selanjutnya aku larut ngomong dengannya, ngomong sendiri, senyum dan ketawa sendiri, seperti orang gila kata anak-anak rimba yang mengantarku waktu itu. Waktu kusebut bahwa orng yang aku telpon sedang berada di kota Yogyakarta -- dimana dipisahkan jarak ribuan kilo terpisah laut bernama selat sunda dengan Jambi -- maka semua keheranan dan rebutan ingin ikut ngomong dengan orang yang aku telpon. “Eh tuhan kuaso, nioma bukit setan” Kata mereka yang keheranan dengan cara kerja sinyal dan henpon ini yang bekerja ibarat setan tak terlihat..

Tak ada jarak lagi kini, teknologi mengatasi kendala itu, namun aku harus menerima kenyataan lain bahwa kekuatan capital mampu menjangkau dan menerjang wilayah terpelosok sekalipun.

Hari berikutnya, berharap seperti orang luar yang memiliki henpon, anak-anak sokola rimba membuat henpon mainan dengan tanah liat, dan mencoba menirukan tingkah setiap orang saat ‘membuang pulsa’ di bukit setan.

“Begini pak kami pokonya tidak mau diusir dari taman nasional bukit duabelas, itukan hutan adat nenek puyang kami ?" Sertu beracting serius, kemudian " Apo pak? Hutan itu milik Negara? Negara mano pak? Apo gak jelas? Oh jadi sinyalnya lagi gangguan yah, nggak dengar yah? Hallow?”

Seperti itulah Sertu Tampung memimpikan aspirasinya dengan beracting lucu seolah menelpon kepala dinas kehutanan yang akhirnya tak mendengar suara Sertu karena alasan teknis gangguan sinyal. nggak denger apa nggak mau denger?

“Sertu coba telpon lagi kehutanon! mungkin kini lah sodah bagus sinyalnyo”

“Ah buang-buang pulsa bae, biarlah, sejak lamo kami bisa hidup dan menjego hutan tanpa harus ado kehutanon”

Nah lho, nggak enak kan di cuekin?

Kamis, 06 Maret 2008

kain dan simbolisasi adat


Sehelai kain tergeletak diatas papan, di setapak makekal, basah tanpa sempat diambil pemiliknya. Kain itu tepat berada di sebuah tempat yang kerap disebut pencibuk’on (jamban) tanpa dinding yang dilaui jalan setapak. Ini bukan kain sembarang kain? Di rimba ini dalam adat rimba makekal, kain adalah penanda agar saya hati-hati saat menapaki jalan setapak. Jangan selonong boy bro, di hutan ini ada tata kramanya, bahkan untuk mengatur para pejalan kaki yang melintas di dalamnya.

Mobilitas antar rombong, atau antar manusia di mungkinkan oleh sarana jalan setapak yang dibuat mereka. Setapak itu kadang melintasi ladang, kebun karet, rumah kerabatnya bahkan melewati langsung ‘jamban’ atau pencibuk’on tiap rumah tangga yang tentunya kita harus waspada bila menemuinya.

Yang aman dan sesuai adat adalah besasalung atau berteriak dulu, bilang apakah ada orang di sana tepatnya perempuan, kalau tidak ada maka lajulah kita melewati pencibok’on itu. Bila ada perempuan misalnya kita harus menunggu sampai mereka berteriak tanda sudah,
“Nompuhlah kamia lah sodaahhh”

Nempuhlah kami melewati pencibuk'on sebuah tubo. Tubo itu artinya rumah tangga bro. Oh ya bro, jalan setapak itu melewati sungai selebar dua meter, ada jembatan papan yang sekaligus dijadikan dermaga pencibuk'on, di tengah papan itulah kain itu tergeletak.

Apa yang terpikir akan kamu lakukan dengan itu kain bro? Ah jangan jail bro?

Kain adalah simbolisasi adat paling luhur : alat bayar denda dan penjagaan bagi perempuan. Perempuan memang nian dilindungi dengan strength oleh adati, ia mendapat perlakuan khusus untuk terhindar dari pengaruh jahat dunia luar. Hanya memegang kain tergeletak saja sudah labuh hukum cela tangan bro, dianggap pemilik kain itu telah dipegang kita yang bukan suami atau muhrimnya. Dendanya sejumlah kain bro. apalagi kalau kamu jail, itu kain dijadiin lap tangan misalnya atau di pindahkan dengan maksud dijemur, itu juga salah bro. Ulah heureuy di leuweung mah bro maksudnya jangan main-main kalo di hutan mah.

Cerita itu sungguh-sungguh, tak mengada-ngada, kebetulan waktu itu, saya harus lihat lokasi sekolah baru di Lubuk Bekerang. Sambil mendrop logistik makanan ke sekolah tersebut, sejam dari sekolah di sako napo, tepatnya di muara anjing merajuk, saya menemukan kain tersebut.

Rabu, 05 Maret 2008

Sekolah Kehidupan bagi Anak Tayawi


Sumber informasi paling terbaru kelompok suku asli halmahera ini didapat dari liputan koran lokal di Ternate yang memberitakan kunjungan seorang pejabat ke orang ‘togutil’ yang hidup di hutan-hutan sepanjang sungai Tayawi.

Siapa sesungguhnya ‘togutil itu? Apa makna nama itu sendiri di dalam intepretasi masyarakat suku asli di Halmahera bro?

Dipelajari lebih lanjut ternyata togutil itu sama makna dan nasibnya dengan istilah kubu bagi suku-suku asli di Jambi. Orang rimba bahkan menganggap kubu sebagai hinaan atas cara hidupnya yang berbeda dengan orang kebanyakan. Togutil apakah pernah kepikiran bahwa kata ini merupakan kependekan dari to go to the hill. Orang-orang yang tinggal di perbukitan, orang bukit, orang yang tak menetap, ah seterusnya disebut Togutil yang konotasinya liar dan tak beradab dipandang kita yang mengaku beradab.

Mereka disebut Orang Tayawi oleh warga pendatang di dusun dan lokasi transmigrasi di sekitar karena hidup di sepanjang hutan di sungai Tayawi. Dan beberapa kali mereka menyatakan ingin sekolah dan meminta pada pejabat yang mengunjungi mereka dalam koran itu. Seperti yang sudah-sudah, kunjungan itu hanya strategi kehumasan belaka, aspirasi orang tayawi ini tak pernah di gubrisnya. Itu kata mereka sendiri saat saya bilang saya tahu lokasi ini setelah membaca Koran.

Tempat itu dicapai beragam transportasi laut dan darat. Bikin cape bro dan mahal sekali ongkos menembus Halmahera. Jalanan buruk , apalagi hujan, tambah hebat kesulitannya. Namun itu sudahlah, toh kami ahirnya bisa ada di kelompok orang tayawi ini yang dipimpin seorang bernama Kahoho. Kahoho sudah tua, anggota kelompoknya adalah anak dan menantu, serta cucu-cucunya. Lebih pas di sebut keluarga besar. Sekilas diobrolan dengan salah satu menantunya tergambarkan bahwa orang tayawi ini pesimis pada masa depannya.. Kami orang-orang kalah dan terdesak terus oleh dunia luar.

Orang Tayawi menyebutkan dunia luar itu banyak macam : Perusahaan Tambang yang menggusur tanah leluhurnya, transmigrasi yang makan lahan luas, perkebunan besar milik swasta dan Negara, dan juga ‘peng-agama-an’ mereka oleh pihak luar. Kelompok mereka dianggap sekumpulan domba yang tersesat, kafir, dan bergelimang dosa dan menjadi sasaran pengagamaan. Sejak itulah orang-orang asli ini tercerai berai dan terdesak serta kehilangan identitasnya oleh ‘larangan-larangan terhadap ritual agama asli oleh agama baru yang menganggap dirinya sebagai agama resmi. Hilang sudah fundamental kebudayaannya bila ketuhanan asli di paksakan takluk terhadap tuhan yang baru, tuhan yang resmi, dan tuhan yang diakui Negara.

Negara dari hongkong? Kata kami dalam hati. Seperti itulah negeri kita bro, banyak benar masalahnya, seabrek bro. bahkan untuk urusan tuhan aja sukanya maksa-maksa, beragama kan hak asasi, ya gak bro? Begitulah ceritanya kenapa saya ada di sana, sudah 6 bulan lebih fasilitasi pendidikan bagi orang tayawi berlangsung, di pondok sederhana di tepi Sungai Tayawi yang jernih dan banyak udangnya.

Anak-anak Tayawi membutuhkan sekolah untuk kehidupannya : agar tak takluk lagi dihadapan dunia luar yang arogan menafsirkan makna kemajuan dalam satu tafsir.

Selasa, 04 Maret 2008

Jalan kaki berdarah


Ayo kita mulai dari kaki..Maksud saya dari jalan kaki. Sehat? Tentu saja, yang tidak menyenangkan dari jalan kaki adalah capenya itu, apalagi ditambah lapar, maka jalan kaki saat itu hal yang paling tak disarankan sebagai olah raga. Bayangin aja kalo lapar dan cape itu terjadi pas di bukaan kebun sawitan, panasnya bro kagak nahan. Ditambah kehausan maka lengkap sudah penderitaan itu. Eh awas juga itu tuh, binatang item kecil kenyal dan haus darah orang. Rentenir? Bukan ah, namanya pacot atau pacet sejenis lintah kecil yang senang menghisap darah pejalan kaki di hutan makekal itu. Si pacot ini senang menempel di segala penjuru tubuh kita. Ati-ati bro, saya pernah menemukan pacot yang sudah sebesar jempol menempel di selangkangan saat mandi, dia sudah mati sendiri, ihh artinya sudah dua hari ia menempel? Amboi dah. Jangan diterusin.

Jalan setapak, jalan kaki cape berlapar-lapar, sambil mengajar baca tulis hitung, berbagi pengetahuan, tinggal bersama muridnya,terpencil didalam hutan, dan kakinya berdarah darah macam diatas? Mengapa kau memilih seperti itu? Katanya banyak mimpi di sokola rimba, itu nama lokasi program si pemilik kaki yang juga ngajar di sana bersama ibu guru rimba butet manurung.

Awalnya sih geli, tapi sekarang mah biasa katanya, cincay lah dapat diatasi. Digigit pacot jadi gatal sesudahnya,yang tak terbiasa akan korengan karena terus digaruk, wah gak bisa jadi peragawati dong karena kakinya korengan? Tapi pacot gak bahayain kesehatan kok, kata dokter Ati teman saya. Malah bagus dengan sering di gigit maka darah yang keluar akan mereproduksi lagi darah baru, itu bagus bukan? ah itu juga kata teman saya yang dokter.

Hai pemilik kaki berdarah, hutan makekal hulu masih seperti biasanya, kami sedang kerepotan menyiapkan makan pagi untuk semua murid dan gurunya. Sementara ini ‘janji’ pihak balai taman nasional bukit duabelas –yang dulu mau ngusir ke zona pemanfaatan di luar hutan – masih memainkan lagu lama, janji tinggal janji, kagak ada bukti. Banyak ngulur waktu dan banyak boongnya, kagak gentlemen lah. Betul sekali, komunitas tempat kami ngajar sedang berjuang untuk mendesak agar aturan zonasi di RPTNBD mengikuti tata kelola adat.
.
Eh kemana LSM konservasi yang selama ini juga mendampingi komunitas ini dalam misi konservasi?

“Nyuduk anggo rabah” alias lari sembunyi ke semak-semak begitu kata anak-anak rimba di sokola kami ketika mereka berjuang untuk kedaulatan adat dan tanah di hutan makekal.

Bunga-bunga bermekaran di hutan makekal. Penuh bunga di taman nasional ini, tapi wanginya tak semerbak. Mari jalan kaki lagi bro, menembus setapak yang lembab dan basah lagi dan berdarah – darah lagi kaki ini. wake up today is back to the deep forest.

Sabtu, 01 Maret 2008

Are U Ready Viking Boy



Sejak kecil aku menggilai sepakbola namun untuk memilih karier sebagai pemain rasa-rasanya tak menjanjikan waktu itu. Dan waktu pun bergulir hingga aku hanya bisa menjadi suporter sebuah klub bola dimana aku di besarkan. Hingga kini, saat aku terdampar dalam profesi yang mengharuskan merantau ke tanah seberang -- menjadi seorang antropolog -- sepakbola tetap tak bisa dilupakan sebagai tontonan yang paling mungkin bisa melupakan segala masalah berat sekalipun. Itulah alasan yang mendorong saya selalu rindu kotaku, kota dimana aku bisa memuaskan kegilaan itu.

Setahun yang lewat saya pulang ke Bandung sehabis menyelesaikan tugas-tugas pendampingan di pulau besar sebelah utara Maumere, Flores, NTT. Aku SMS sahabatku tentang kepulangan ini untuk memastikan jadwal pertandingan liga Indonesia yang bisa aku saksikan. “Welkom Back Bro, besok pertandingan besar jangan kemana-mana, Persib VS Persija”. Di pesawat itu hatiku berdebar aneh membaca sms sahabat saya ini. Aku tak sabar menunggu esok hingga ingin rasanya aku ambil alih kemudi pilot pesawat dan kutancap gas pesawat ini hingga melaju secepat yang kuinginkan.

Keesokannya aku lihat anak-anak se usia keponakanku terlalu dini ada di riuhnya ribuan suporter dalam suasana penuh sesak sebuah stadion. Seandainya ia ada di Inggris, mungkin dirinya akan nyaman saat menikmati liukan Christian Ronaldo atau Frank Lampard dalam suatu pertandingan bermutu dengan kenyamanan kelas satu di sebuah stadion. Khayalku buyar, ini negeri kita bro, sebuah pertandingan bola, yang tak ramah dengan anak. Anak-anak itu penuh perjuangan di sini, dihimpit di desak sejak di antrian masuk dan dikerangkeng seakan makhluk buas oleh sekat pagar kokoh : tinggi dan berjeruji kawat yang dijaga dengan ketat oleh aparat keamanan berbaju seragam. Sejak dini suporter cilik di belahan nengeri ini dihadapan struktur kebanyakan stadion sepakbola kita – dan oleh kecurigaan aparat sebagai biang kerusuhan -- ternyata diajarkan tanpa sadar untuk melakukan perlawanan simbolik dan demonstratif.

“Wasit Goblog” demikian tulisan di kaos salah satu anak itu, kita sama tahu bro, wasit kita aneh-aneh sejak ada mafia-nya.. Atau seperti yang kulihat salah satu anak ikut melempari petugas dengan botol akua karena terjadi insiden saat seorang penonton yang naik ke pagar dipukuli petugas : solidaritas kerumunan jadi keharusan. Bau pesing menguap di udara di tribun tersebut, tak ada WC layak bro, hingga tembok belakang tribun menjadi WC bersama ketika babak I berakhir. Sampai lupa bro, petugas di pintu stadion pun nakal-nakal memasukan penonton illegal dengan karcis keriting. Suporter cilik kita jadi terbiasa dengan segala ketidaklayakan dan dekadensi moralitas.

Bagaimana ini? Siapa yang bertanggung jawab bila kelak anak-anak ini lantas menjadi penerus hooliganisme bola yang sekarang diributkan? Ah khayalku buyar tentang ‘liga Inggris’ karena ini utopia yang tak akan terjadi bila ketua PSSInya saja sebagai pihak yang seharusnya bertanggung jawab menjalankan roda organisasinya dari balik jeruji. Negeri bola yang tak patut diteladani oleh anak-anak dan generasi suporter cilik lainnya. Saya gila bola bro saya ingin Revolusi di tubuh PSSI. Are U ready Viking Boy?