Ada beberapa hal penting mengenai istilah akses : Yang utama adalah bahwa akses secara frekuentif digunakan dalam analisa mengenai sumber daya alam dan property. Akses didefinisikan sebagai kemampuan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan dari ‘sesuatu’ – termasuk objek-objek material (suatu barang atau benda), orang-orang, institusi, dan simbol-simbol. Dari hal itu nampak bahwa akses lebih fokus pada pengertian ‘kemampuan’ - yang jika diperluas maka akses merupakan hak untuk memperoleh keuntungan dari suatu barang atau benda tersebut. Dengan merujuk pada definisi tersebut maka akses tersebut lebih mengacu sebagai sebuah bundel kekuasaan-kekuasaan ketimbang pada gagasan sebuah ‘property’. Formulasi mengenai akses tersebut dengan demikian mencakup sebuah relasi sosial yang mempengaruhi atau memungkinkan seseorang atau kelompok memperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumber daya ketimbang relasi kepemilikan itu sendiri.
Konsep akses pada akhirnya ingin melihat dan menyelidiki ‘siapa yang secara aktual memperoleh keuntungan dari sesuatu tersebut dan melalui proses seperti apa mereka mendapatkan keuntungan tersebut’. Akses dengan demikian menyimpan makna empiris – yang fokus pada issue ‘siapa yang mendapat kan (tidak mendapatkan) pemanfaatan tersebut? dengan cara apa?
Perbedaan orang atau institusi pemegang kekuasaan akan menggambarkan perbedaan pula pada saat ‘bundel kekuasaan’ tersebut ditempatkan dan dikuasakan ke dalam jaringan kekuasaan yang dibentuknya. Orang-orang atau institusi memiliki perbedaan posisi dalam relasinya terhadap sumber daya alam di dalam beragam momen kesejarahan dan skala geografis tertentu.
Analisa akses ini penting untuk memahami mengapa sebagian orang atau institusi memperoleh keuntungan dari sebuah sumber daya alam atau mengapa mereka memperoleh atau tidak mempeoleh haknya terhadap sumber daya tersebut.
Analisa akses ini penting untuk memahami mengapa sebagian orang atau institusi memperoleh keuntungan dari sebuah sumber daya alam atau mengapa mereka memperoleh atau tidak mempeoleh haknya terhadap sumber daya tersebut.
Ada perbedaan antara analisa akses disatu sisi dengan analisa property di sisi lain. Jika property lebih pada pemahaman pada persoalan ‘klaim’ terhadap hak, maka studi akses lebih pada bagaimana memahami beragam cara orang-orang memperoleh keuntungan dari sumber daya alam tersebut yang tak dibatasi pada relasi terhadap property.
Beberapa hal penting yang mesti diketahui tentang teoritisasi akses adalah bahwa ’akses’ harus diperbandingkan dengan ‘property’ - sekaligus keduanya mesti diletakan sesuai dengan tempatnya. Pertama baik akses maupun properti memandang penting relasi diantara orang terhadap ‘keuntungan dan nilai’ baik itu derma, akumulasinya,transfer, dan distribusinya. Keuntungan amatlah penting karena orang , institusi, atau masyarakat hidup untuk hal tersebut, karena keuntungan tersebut terkadang mereka bertikai atau bekerja sama untuk hal itu.
Untuk memahami perbedaannya maka kita harus membedakan antara kemampuan dan hak. Kemampuan berhubungan erat dengan kekuasaan, yang didefinisikan dalam dua cara : pertama kemampuan merujuk pada kapasitas aktor untuk mempengaruhi praktek-praktek dan gagasan orang lain (Webber 1978 dan Lukes 1986). Kedua kekuasaan sebagai sesuatu yang inheren yang muncul dari orang-orang yang baik sengaja atau tidak timbul dari efek sebuah hubungan-hubungan sosial (Foucault 1978,1979).
Akses adalah semua makna-makna kemungkinan, dimana orang mampu memperoleh keuntungan dari ‘sesuatu’. Sementara property lebih pada pengertian klaim dan hak yang terkait pada hukum, kebiasaan, atau konvensi yang bisa saja tak setara. Beberapa tindakan bisa saja dianggap ilegal menurut hukum negara, atau mendapat sangsi menurut kebiasaan atau konvensi. Akses berbeda karena ia mungkin saja tanpa sengaja memiliki akibat terhadap hak kepemilikan atau bisa saja akses tertentu tak mendapat sangsi secara sosial didalam wilayah hukum, kebiasaan, atau konvensi tertentu.
Pembahasan mengenai berbagai dimensi tentang akses berhubungan dengan penggunaan definisi dalam studi mengenai property secara luas. Property sebelumnya cenderung terkait dalam berbagai literatur dan penggunaannya di keseharian, dengan gagasan tentang ‘ownership atau kepemilikan’ atau terkait dengan sesuatu yang didefinisikan oleh hukum, adat kebiasaan, serta konvensi. Namun pada perkembangannya kemudian berubah secara radikal. Perubahan konsep mengenai property itu salah satunya dengan meluaskan gagasan tersebut dengan relasi-relasi politik ekonomi serta diskursus strategi dalam membentuk aliran keuntungan. Dapat disimpulkan akhirnya bahwa seperti pemahaman property, maka relasi akses pun selalu berubah, tergantung kepada posisi individu atau kelompok dan kekuasaan di dalam beragam relasi sosial. Singkatnya, orang bisa saja mendapatkan kekuasaan lebih di dalam satu momen kesejarahan tertentu sementara yang lain tidak memiliki kekuasaan tersebut.
Dengan perspektif politik ekonomi misalnya muncul isu tentang kontrol akses dan pemeliharaan akses dalam berbagai tindakan sosial. Kontrol terhadap akses adalah kemampuan untuk memediasi akses pihak lain. Kontrol sendiri bisa diartikan sebagai sesuatu yang merujuk pada pemeriksaan dan pengarahan terhadap sebuah tindakan yang berfungsi atau memiliki kekuasaan dalam mengarahkan dan meregulasikan kebebasan dalam tindakan (Rangan 1997:72).
Pemeliharaan (maintenance) terhadap akses sendiri memerlukan ‘pengerahan’ sumber daya dan kekuasaan untuk menjaga sebuah sumber daya akses yang terbuka. Pemeliharaan dan kontrol menjadi saling melengkapi, keduanya merupakan posisi sosial yang secara temporal terkristalisasi di sekitar makna sebuah akses. Keduanya baik kontrol dan pemeliharaan merupakan sebuah relasi-relasi konstitutive diantara para aktor dalam relasinya terhadap pemberian, pengaturan, dan pemanfaatan sebuah sumber daya alam, dimana terkadang pemaknaan dan nilai yang menyertai sumber daya kerap berkontestasi : pada persoalan siapa yang berhak mengontrol dan siapa yang berhak mengatur dan memelihara akses tersebut.Dalam pengertian ini gagasan mengenai property tersusun kedalam dua bagian yakni hak dan kewajiban yang terlihat berbeda secara paralel ketika diterapkan.
Kontrol dan Maintenance paralel dengan pikiran Marx tentang relasi sebuah kapital dan tenaga kerja, yang merujuk pada sebuah relasi yang menggambarkan siapa aktor yang memiliki modal dan siapa yang bekerja pada pemilik modal atau pemilik alat produksi. Paralel dengan relasi demikian adalah relasi diantara aktor yang mengontrol akses pihak lain dan mereka yang mesti mengatur akses yang dimilikinya. Dalam hal ini tergambar relasi pembagian sebuah keuntungan yang bisa di negosiasikan. Dalam hal pengaturan akses maka aktor yang subordinat berperan mentransfer keuntungan kepada pihak pengontrol. Mereka mengerahkan sumberdayanya untuk keuntungan pihak lain dalam satu tujuan mendapatkan keuntungan buatnya. Analisa tentang kelas menjadi penting karena muncul persoalan segelintir aktor bekerja sama dan bersaing untuk mengontrol dan memaintenance sebuah akses.
Ada pihak yang dominan yang memiliki ‘bundel kekuasaan’ disatu sisi dan aktor subordinate di sisi lain. Keberadaan kerangka pikiran politik ekonomi ini memberi model teoritis pada perubahan sosial, yang menurut Marx relasi dan perbedaan sosial muncul dari kerja sama atau konflik dalam memperoleh keuntungan-keuntungan (value), dan hukum serta aturan mungkin dibentuk dari relasi ini.
Struktur dan Relasionalitas Mekanisme Akses
Struktur dan relasi sebuah mekanisme akses harus dipahami dengan melihat bahwa kemampuan memperoleh keuntungan itu dimediasikan oleh beragam hambatan yang ada, oleh kerangka politik ekonomi dan kultural tertentu disaat akses terhadap sumber daya tersebut diusahakan. Menurut Blaikie tentang kualifikasi sebuah akses, maka kapital dan identitas sosial berpengaruh pada siapa yang diprioritaskan terhadap akses sumber daya alam. Atas pikiran Blaikie tersebut maka penulis menyatakan bahwa ada nuansa bagaimana teknologi,kapital, pasar, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan relasinya dapat membentuk dan mempengaruhi sebuah akses.
Teknologi paling tidak mempengaruhi pada kemampuan daya jangkau seseorang atau kelompok masyarakat terhadap sumber daya alam. Beberapa sumber daya misalnya tidak dapat dimanfaatkan tanpa penggunaan peralatan teknologi, dan ketika meningkat kemampuan teknologi maka dimungkinkan seseorang atau kelompok mendapatkan keuntungan ketika mampu memanfaatkan sumber daya tersebut.
Berikutnya 'Kapital' jelas sekali faktor ini punya peran besar menentukan siapa yang mampu atau tidak mengakses sumber daya alam. Kapital mampu mengontrol dan mengatur akses seseorang atau kelompok masyarakat (blaikie). Kapital mempengaruhi terjadinya eksplorasi, produksi,konversi lahan, mobilisasi tenaga kerja, dan beragam proses yang mempengaruhi perubahan lingkungan secara fisik. Kapital menjadi faktor paling bertanggung jawab dalam perubahan landscape sosial,kultural, ekonomi, dan lingkungan alam dalam perspektif ekonomi politik.
Berikutnya akses pasar, mempengaruhi kemampuan mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam dalam berbagai cara. Secara umum diartikan dengan kemampuan seseorang atau kelompok untuk mendapatkan keuntungan, kontrol , dan maintain ketika masuk ke dalam proses pertukaran ekonomi. Sebuah landskap bisa berubah ketika sebuah komoditas tanaman tertentu menjadi diminati pasar. Maka kemudian akan terjadi dimana masyarakat bisa saja menjadi tak terkendali membuka hutan saat tanaman tertentu laku dipasar – lokal dan global -. Para pedagang dan pendatang kemudian masuk ke wilayah tersebut, membeli tanah dan menanaminya dengan karet. Persoalan peralihan lahan mengemuka, masyarakat aslki lalu biasanya berubah ketika pasar bersentuhan dengan kehidupan hariannya. Pasar tak saja merubah lanskap secara fisik, namun mempengaruhi pula relasi sosial, ekonomi, dan kultural kelompok-kelompok masyarakat tertentu dalam berbagai struktur dan beragam prosesnya.
Akses terhadap tenaga kerja dan kesempatan kerja itu sendiri juga mempengaruhi siapa yang diuntungkan dengan sumber daya alam. Melalui akses kontrol terhadap tenaga kerja siapun akan mendapat keuntungan dari sumber daya alam ketika komodifikasi sebuah produk memerlukan pengerahan kerja terhadap lingkungan alam. Pekerja menjadi mesin keuntungan pemegang kontrol kapital yang terikat dengan teknologi dan pasar komoditas, di dalamnya muncul relasi patronase, patron dan klien dalam bentuk buruh dan majikan dalam relasi kerja.
Akses terhadap pengetahuan – juga mempengaruhi tentang siapa yang akan mendapat keuntungan dari suatu sumber daya alam. Termasuk didalamnya kepercayaan, kontrol ideologi, dan diskursus praktek-praktek kehidupan menjadi faktor yang bisa menegosiasikan sistem makna dan perubahan bentuk-bentuk akses. Sebagian jenis sumber daya alam tertentu misalnya tidak hanya bisa diakses melalui faktor ekonomi dan klaim moral untuk mendapatkan hak subsistensi, tapi hal itu juga bersifat sosial, politis, dan punya tujuan ritual yang direpresentasikan kedalam kekerabatan, relasi kekuasaan, atau harmoni ritual (Peluso 1996).
Selanjutnya akses sebagai sebuah discourse (diskursus) merupakan istilah paling mendalam yang secara keseluruhan masuk kedalam framework akses sumber daya. Isu tentang perlindungan lingkungan menjadi contoh betapa amat berkuasanya NGO’s internasional dan aktor lainnya menciptakan universalisasi kategori dan menaturalisasikan intervensinya terhadap seluruh dunia. Akses sumber daya alam dibentuk dengan cara yang dilakukan oleh kekuasaan yang mampu memproduksi kategori-kategori dan pengetahuan (Foucault). Status sebagai ahli kemudian membawa otoritasnya untuk memanipulasi kepercayaan pihak lain untuk mengikuti jalan pikirannya dalam hal pengakategorian akses sumber daya alam dan pemanfaatannya.Laporan para ilmuwan yang terhubung dengan aktivitas manusia terhadap perubahan ekologis sering menjustifikasi kontrol negara kepada sumber daya alam.
Berikut akses tehadap otoritas – juga mempengaruhi kemampuan individu dalam mendapat keuntungan dari sebuah sumber daya alam. Akses terhadap otoritas menjadi titik penting di dalam jejaring kekuasaan yang memungkinkan penduduk memperoleh keuntungan dari sesuatu ‘barang’ atau sumber daya.
Kemudian akses terhadap identitas sosial – sangat mempengaruhi distribusi keuntungan dari sebuah barang atau sumber daya. Akses sering dimediasi oleh identitas sosial, termasuk kelompok umur,gender,etnisitas, religi, status, profesi, tempat tinggal, tingkat pendidikan, atau atribut lain yang diakui oleh identitas sosial (Moore 1986, dll)
Lalu terakhir adalah akses terhadap sumberdaya khusus seperti hak pada aktivitas memancing, berburu, dan meramu juga telah menjadi wacana dalam kelompok masyarakat asli untuk menegosiasikannya dengan state atau otoritas tertentu. Kadang kehususan iri dijadikan taktik oleh kelompok tertentu untuk mendapatkan akses terhadap sebuah kawasan dan sumber daya alam lainnya. Issue mengenai indigenous people dengan klaim serta pengakuan atas identitasnya kadang dijadikan taktik oleh lembaga konservasi untuk mendapatkan akses terhadap kawasan hutan dalam wacana perlindungan alam.
*** 2010 sebagai tugas review kuliah ekologi manusia, pasca sarjana departemen antropologi, UI.
Jumat, 02 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
bacaan yg menarik, kebetulan saya sedang mencari teori acces menurut Ribot and Peluso...sebagi bahan tambahan tesis saya..salam
Posting Komentar