Senin, 07 April 2008

Ambung Tikar dan Kesetaraan Gender


Kehidupan semi nomadik di relung berburu dan meramu di kawasan hutan ini bisa tergambar dari peralatan hidup yang dipakainya. Ambung dan tikar misalnya, alat bantu ini lantas menjadi sesuatu yang paling berkontribusi dalam mendukung gaya hidup mereka sejak ratusan tahun di kawasan hutan yang kini di klaim sepihak menjadi Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).

Ambung dan tikar juga bermakna simbolik bahwa suku ini memang bisa kapan saja pergi dan kapan saja tinggal di kawasan tertentu tanpa harus merepotkan siapapun. Easy come easy go mungkin pas buat menyatakan kebiasaan berpindah mereka, itu pun menurut saya.Orang Rimba kerap menyingkir menghindari konflik, berpindah ketika kematian menimpa, mereka juga saling berkirim dan berbagi makanan kepada kerabatnya, dan yang membuat mereka selalu bergerak secara terukur adalah bahwa siklus musim-musim sumber pangan mereka juga harus didapatkan dengan cara ‘bergerak’ ke arah sumbernya.

Ambung sebagai keranjang dapat memuat semua perbekalan saat bergerak ke sumber pangan. Lalu dengan ambung itu pula orang rimba saling mendistribusikan sumber pangan hasil hutannya untuk keberlangsungan setiap rombong. Tikar pun demikian, ia berguna sebagai alas tidur saat lelah bergerak di hutan. Tikar perlambang kemerdekaan mereka dalam menentukan dimana dan kapan mereka harus bermalam dan berpindah.

Ambung dan tikar disebut perbuatan betina karena jenis kelamin inilah yang memiliki skill membuatnya saat mengisi waktu luang. Meski betina yang membuat namun menjadi hak milik laki-laki di dalam pengaturan adatnya. Sebaliknya membuka ladang, berburu, mencari rotan, mengangkut hasil buruan, dan pekerjaan berat yang membutuhkan tenaga dan daya jelajah jauh adalah kewajiban para lelaki untuk mengerjakannya. Namun selanjutnya kepemilikan perbuatan jenton ini menjadi hak milik perempuan dikemudian hari..

Dengan mekanisme pengaturan hak milik seperti ini maka perceraian menjadi hal yang paling ditakutkan oleh lelaki, di sini semua suami takut pada bini, karena apa? Bila perceraian terjadi maka laki-laki hanya berhak atas sebuah ambung, tikar, dan parang saja. Sementara ladang dan kebun yang dibuka dan dihasilkan selama menikah akan jatuh menjadi hak milik perempuan. Terbayang sudah bahwa laki-laki akan mulai hidup dari nol lagi jika mencampok atau menceraikan istrinya.

Oh kalau adatnya seperti itu, itu menindas lelaki, mengapa ada ketidakadilan gender bagi kaum lelaki dalam mekanisme adat mereka? Wah harus disosialisasikan dong pemahaman gender dan apa itu ‘persamaan hak’. Seperti itu mungkin yang dipikirkan oleh para aktivis gender. Siap jender! ngaco ah maksutnya siap jenderal.

Aih-aih bukan itu intinya, keadilan dan kesetaraan itu relative bro, dianggap adil bila masing-masing kelamin sadar diposisi mana ia berada dan memaklumi alasan perlakuan tersebut. Lelaki di rimba itu mengetahui bahwa istri-istri mereka juga bertaruh nyawa saat melahirkan dan bekerja keras mengasuh anak-anaknya. Lelaki rimba juga memahami bahwa betina memiliki keterbatasan lahiriah dengan status kewanitaannya. Siapa yang akan bertanggung jawab memberinya makan bila perceraian terjadi dan si perempuan tak punya ladang dan kebun?

Jadinya malu aja jika kaum sekuat kita merencanakan bikin sebuah koalisi lelaki untuk menyuarakan kesetaraan gender bagi pria yang tertindas oleh sistem budaya yang pro perempuan. “Idih kagak deh”

Hai para feminis apakah kalian menyadari betapa tegarnya seorang lelaki selama ini dalam menghadapi realitas kehidupan yang berat sebelah itu?

Tidak ada komentar: