Dibingkai sebatang pohon meranti yang roboh, beratap langit transisi, saya tiba-tiba sentimentil dibatas siang dan malam kala itu. orang rimba menyebutnya puang nyimpoy untuk suasana demikian.Puang nyimpoy sederhananya saat langit seperti jingga langit makekal sore itu
Hutan Makekal lima tahun lalu masih ada dibelakang pohon tertinggi dibingkai itu sejauh ratusan depa, hijau, rapat, dan lembab. Kini tepat saya berdiri di batas transisi antara bukaan ladang baru dan hutan tersisa, saya memotret tanda-tanda kepunahan. Saya harus berjalan agak jauh untuk mandi di musim kering tahun ini, semua anak sungai kering dihisap kemarau, hulu-hulu sungai hutannya rusak, bukaan dimana-mana.
Sayup-sayup kepak sayap sepasang burung rangkong gading atau hornbill menderu membelah langit menuju pohon yang menjadi sarangnya.
Keindahan langit makekal sore itu menyembunyikan kekuatiran orang-orang rimba di Makekal Hulu, akan desakan, dan degradasi hutan adatnya oleh macam-macam tekanan. Semua akan sentimentil rasanya bila harus menjadi saksi punahnya sebuah tradisi relung pemburu dan peramu oleh perubahan fisik hutannya.
Tak akan saya temukan lagi pemburu hebat macam gaek di pengelaworon bila hutan sudah tak ada lagi. Perubahan fungsi hutan menjadi ladang-ladang pertanian bukan masalah fisik belaka, fenomena ini juga menandai satu perubahan dramatis, perubahan gaya hidup : dari berburu dan meramu yang semi nomad ke pertanian yang semi menetap. Ada banyak waktu yang tersita atas pilihan itu, dan berburu akan dijadikan hanya selingan, lalu ditinggalkan sama sekali setelah hutan semua berubah menjadi pertanian.
Dikemanakan ilmu perburuan hebat itu nantinya? Dan akankah saya temukan lagi suku beridentitas orang rimba di tahun-tahun di hadap?
Malam itu sepulang mandi di makekal, saya makan malam, lalu merokok, lalu ngobrol sebentar, lalu lihat-lihat anak-anak rimba belajar, ketawa-ketiwi berpantun, lalu siap-siap tidur. Lokasi sokola rimba pun berpindah semakin ke dalam, kini tepat di patok taman nasional, dulu kami jauh ke depan di sungai kedundung jehat sejarak ratusan depa dibelakang pohon tertinggi di bingkai poto itu.
Malam makin larut, saya masih tak bisa tidur, ada tumpahan kopi di tikar, semut berkerumun pesta manis sambil sekalian gigitin punggung saya yang atletis. Oh betapa menjengkelkan semut sialan ini, kalau begini saya tak mungkin bisa tidur, Ya Iya Lah, kirain karena sentimentil?
Hutan Makekal lima tahun lalu masih ada dibelakang pohon tertinggi dibingkai itu sejauh ratusan depa, hijau, rapat, dan lembab. Kini tepat saya berdiri di batas transisi antara bukaan ladang baru dan hutan tersisa, saya memotret tanda-tanda kepunahan. Saya harus berjalan agak jauh untuk mandi di musim kering tahun ini, semua anak sungai kering dihisap kemarau, hulu-hulu sungai hutannya rusak, bukaan dimana-mana.
Sayup-sayup kepak sayap sepasang burung rangkong gading atau hornbill menderu membelah langit menuju pohon yang menjadi sarangnya.
Keindahan langit makekal sore itu menyembunyikan kekuatiran orang-orang rimba di Makekal Hulu, akan desakan, dan degradasi hutan adatnya oleh macam-macam tekanan. Semua akan sentimentil rasanya bila harus menjadi saksi punahnya sebuah tradisi relung pemburu dan peramu oleh perubahan fisik hutannya.
Tak akan saya temukan lagi pemburu hebat macam gaek di pengelaworon bila hutan sudah tak ada lagi. Perubahan fungsi hutan menjadi ladang-ladang pertanian bukan masalah fisik belaka, fenomena ini juga menandai satu perubahan dramatis, perubahan gaya hidup : dari berburu dan meramu yang semi nomad ke pertanian yang semi menetap. Ada banyak waktu yang tersita atas pilihan itu, dan berburu akan dijadikan hanya selingan, lalu ditinggalkan sama sekali setelah hutan semua berubah menjadi pertanian.
Dikemanakan ilmu perburuan hebat itu nantinya? Dan akankah saya temukan lagi suku beridentitas orang rimba di tahun-tahun di hadap?
Malam itu sepulang mandi di makekal, saya makan malam, lalu merokok, lalu ngobrol sebentar, lalu lihat-lihat anak-anak rimba belajar, ketawa-ketiwi berpantun, lalu siap-siap tidur. Lokasi sokola rimba pun berpindah semakin ke dalam, kini tepat di patok taman nasional, dulu kami jauh ke depan di sungai kedundung jehat sejarak ratusan depa dibelakang pohon tertinggi di bingkai poto itu.
Malam makin larut, saya masih tak bisa tidur, ada tumpahan kopi di tikar, semut berkerumun pesta manis sambil sekalian gigitin punggung saya yang atletis. Oh betapa menjengkelkan semut sialan ini, kalau begini saya tak mungkin bisa tidur, Ya Iya Lah, kirain karena sentimentil?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar