Senja cuaca mendung, langit sesaat lagi kelam, gerimis mulai turun, saya terpaksa tak melanjutkan perjalanan, “ah, gimana ini?” Setapak di hutan makekal semakin tak terlihat, saya berjalan oleng tak konsen lagi, sebentar-sebentar terjatuh lemas, “kukuruyuk,kukuruyuk” Ada yang berbunyi seperti ‘cacing’ di perut ini. ah tandanya lapar kalau begitu. Tapi kok kukuruyuk? Ah persetan apapun jenis bunyi diperut ini, yang jelas jalan masih jauh setengah harian lagi ke depan, disana tujuan kami dibalik dua buah bukit. Hujan lalu turun lebat sekali membasahi hutan dataran tropis di jantung sumatera ini.
“Sebaiknya kita menginap, besok pagi dilanjutkan" kata teman saya yang asli Makekal. Dimana kita bermalam, bagaimana ini? saya bingung karena kami tak bawa tenda dan makanan cukup. Ah beginilah kalau cocongoron alias sombong merasa hebat takakan tersesat. Seharusnya saya antisipasi hal terburuk sekalipun, apalagi ceritanya mau jalan di hutan. Saya dengan teman ini terus berjalan tak pasti, kelaparan, dan terus teriak-teriak berharap ada orang disekitar kami yang mendengar.
"Siapooo" Sahut-sahut dari jauh suara orang menyakan siapa kami.
“Kamia sosot ndok mati tekarot” Teman rimba saya teriak membalas dan berkata bahwa kami tersesat dan mau mati karena kelaparan.
“Kemaaii” teriaknya mengundang kami datang.
Ah dasar teman saya ini senangnya hiperbolis, gak mungkin deh mati karena gak makan setengah hari. Laper memang laper, tapi saya masih ingat, kami berdua makan nasi bungkus gulai ikan dari RM Minang Raso di luar hutan sebelum masuk hutan Makekal. Tapi biarin aja, saya butuh shelter untuk melewati malam hujan terkutuk ini. Brrrrrr,.. kami gemeletuk kedinginan sambil merayap dikegelapan menuju suara undangan mampir itu.
“Oh, Bujang lapuk, noeklah anggo rumah guding, akeh ado ubi kayu” Rupanya ini rumah seorang bapak yang saya kenal juga, namanya tak perlu disebut, dia bilang setengah menghina saya soal status bujangan saya. Tapi ia mempersilahkan naik ke rumahnya, tepatnya lagi rumah di tengah ladang yang sekelilingnya hutan belantara.
Pemukiman orang rimba selalu dekat dengan sungai dan dengan tetangga terdekatnya berjarak relatif, paling dekat sejarak saling terdengar saat berteriak.
Ubi kayu rebusnya sudah dingin karena sejak sore dia masak, saya tak tahu diuntung dengan kebaikannya. “ada yang hangot guding?” Maksudnya saya tanya ada yang panas? Dia menggeleng dan hanya memonyongkan mulutnya ke arah luar menunjuk pepohonan ubi kayu yang tertanam di hamparan ladangnya yang sudah gelap. “kalau mau ambil di kiun” Kata dia lagi menyilahkan saya mencari dan mencabut sendirin jika mau ubi kayu hangat. Ah hari sudah malam, saya telan saja ubi kayu dingin ini, daripada harus mencabuti batang ubi kayu sendiri.
Esok paginya. Saya disuguhi lagi ubi kayu yang panas dan nikmat sebagai sarapan.Terima kasih kawan, lalu saya pamit, lalu kami berjalan lagi, menyusuri setapak, melanjut perjalanan yang tertunda semalam.
“Sebaiknya kita menginap, besok pagi dilanjutkan" kata teman saya yang asli Makekal. Dimana kita bermalam, bagaimana ini? saya bingung karena kami tak bawa tenda dan makanan cukup. Ah beginilah kalau cocongoron alias sombong merasa hebat takakan tersesat. Seharusnya saya antisipasi hal terburuk sekalipun, apalagi ceritanya mau jalan di hutan. Saya dengan teman ini terus berjalan tak pasti, kelaparan, dan terus teriak-teriak berharap ada orang disekitar kami yang mendengar.
"Siapooo" Sahut-sahut dari jauh suara orang menyakan siapa kami.
“Kamia sosot ndok mati tekarot” Teman rimba saya teriak membalas dan berkata bahwa kami tersesat dan mau mati karena kelaparan.
“Kemaaii” teriaknya mengundang kami datang.
Ah dasar teman saya ini senangnya hiperbolis, gak mungkin deh mati karena gak makan setengah hari. Laper memang laper, tapi saya masih ingat, kami berdua makan nasi bungkus gulai ikan dari RM Minang Raso di luar hutan sebelum masuk hutan Makekal. Tapi biarin aja, saya butuh shelter untuk melewati malam hujan terkutuk ini. Brrrrrr,.. kami gemeletuk kedinginan sambil merayap dikegelapan menuju suara undangan mampir itu.
“Oh, Bujang lapuk, noeklah anggo rumah guding, akeh ado ubi kayu” Rupanya ini rumah seorang bapak yang saya kenal juga, namanya tak perlu disebut, dia bilang setengah menghina saya soal status bujangan saya. Tapi ia mempersilahkan naik ke rumahnya, tepatnya lagi rumah di tengah ladang yang sekelilingnya hutan belantara.
Pemukiman orang rimba selalu dekat dengan sungai dan dengan tetangga terdekatnya berjarak relatif, paling dekat sejarak saling terdengar saat berteriak.
Ubi kayu rebusnya sudah dingin karena sejak sore dia masak, saya tak tahu diuntung dengan kebaikannya. “ada yang hangot guding?” Maksudnya saya tanya ada yang panas? Dia menggeleng dan hanya memonyongkan mulutnya ke arah luar menunjuk pepohonan ubi kayu yang tertanam di hamparan ladangnya yang sudah gelap. “kalau mau ambil di kiun” Kata dia lagi menyilahkan saya mencari dan mencabut sendirin jika mau ubi kayu hangat. Ah hari sudah malam, saya telan saja ubi kayu dingin ini, daripada harus mencabuti batang ubi kayu sendiri.
Esok paginya. Saya disuguhi lagi ubi kayu yang panas dan nikmat sebagai sarapan.Terima kasih kawan, lalu saya pamit, lalu kami berjalan lagi, menyusuri setapak, melanjut perjalanan yang tertunda semalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar