Minggu, 22 November 2009

the weapon of the weak


Terdapat pergeseran modus penguasaan dan kontrol negara atas hutan dalam perjalanan sejarahnya, yakni dari sekedar menguasai spesies kayu tertentu dan tenaga kerja, menjadi penguasaan wilayah serta membatasi dan mengatur aktivitas manusia dengan sumber daya alamnya, yang kemudian menambahkan kata konservasi untuk menguatkan legitimasinya. Klaim negara dan Konservasionis (yang kadang bersekutu dalam prakteknya)menambah kekuatan legitimasinya itu dengan menyodorkan sebuah gambaran ruang abstrak atau 'peta'. Peta ini menjadi powerfull dan alat kontrol atas aktivitas manusia oleh pihak tertentu - ketika diterapkan dalam wacana teritorialisasi dan konservasi. Peta itu mereka buat sendiri, ditandai sendiri batas-batasnya, lalu mereka imajikan sendiri : siapa yang berhak ada di dalam kawasan peta tersebut, dan siapa yang tak boleh ada di dalamnya. Peta menjadi persoalan 'mengeluarkan dan memasukan' unsur tertentu dengan cara sepihak.

Jika dulu dimasa feodalisme tanah dimiliki dan dikuasai patron, lalu orang dikuasai sebagai jaminan tenaga kerja. Kemudian Belanda berkuasa, maka tanah dan hutan dikuasai untuk mengontrol tenaga kerja dalam pengambilan species tumbuhan unggul, yang laku dipasaran dunia. Di masa kini, saat feodaliseme dan jejak kolonialisme telah pergi, negara RI justru mewarisi sifat dan karaktek penguasaan masa lalu, dengan memperluas legitimasinya. Negara di masa kini telah mengambil alih peran tuan tanah (patron yang dulu mengayomi rakyat), meneruskan jejak kolonialisme Belanda, sambil meluaskan kekuasaan atas teritorialnya dengan menguasai lahan, tanah, dan kawasan hutan.

Negara selalu menetapkan batas penguasaan formal ketika mengklaim satu wilayah, sementara di tingkat lokal penguasaan lahan atau hutan kadang berdasarkan atas hukum adat atau atas dorongan kebutuhan subsisten. Rezim negara kerap mempolitisi citra penjahat hutan secara tidak sah, ia melabel mereka sebagai kriminal yang subversif, yang seolah-olah perbuatan mereka mengganggu wibawa dan otoritasnya. Dilain pihak masyarakat asli dan orang-orang yang telah hidup ratusan tahun didalamnya, kadang bertindak dan bereaksi sekedar memperpanjang hidup, ia bertindak juga sebagai wujud protes atas hilangnya akses atas sumber daya alamiahnya dan atas terancamnya subsistensi. Tindakan protes mereka sesungguhnya bukan dimaksudkan untuk menggulingkan kedaulatan negara, mereka menuntut hak, hak atas hutan yang menjadi sandaran hidup dan ekspresi kultural. Dalam wacana lokal, pemaksaan negara dan kesewenang-wenagannya ini dianggap kejahatan dan penghianatan yang tentunya menimbulkan perlawanan yang terus berproses dalam berbagai bentuk. Perlawanan yang oleh James C Scott diistilahkan dengan bentuk perlawanan sehari-hari: tanpa bentuk, tak terorganisir,gerilya diam-diam, dan perlawanan pasif lainnya.

Tidak ada komentar: