Kamis, 21 Februari 2008

memecion


Menosur namanya, sangat indah mendengarnya.
Setiap nama anak yg lahir selalu pemberian dukun atas petunjuk bahelo (dewa leluhurnya). Demikian kehidupan leluhurnya selalu diatur adat dan rimba mewadahi aktivitas kesehariannya.

Saya mengenalnya, ia salah satu murid yang belajar dari guru-guru SOKOLA yang mendatangi kediamannya di tengah kelebatan rimba makekal. Di sekolah itulah ia belajar membaca dan bersiasat terhadap perubahan agar ia tetap hidup bermartabat.

Seiring waktu berjalan, Menosur harus menyadari bahwa rimbanya kini terkepung, terdesak, dan terancam beragam masalah. Alih-alih melindungi hak komunitasnya, taman nasional yang ditetapkan pemerintah atas dorongan sebuah LSM konservasi malah hendak mengusirnya dengan cara halus.

Apa yang terjadi dengan nasib menosur kelak? Rasa-rasanya tak cukup bila hanya sekedar ‘memecion’ (main katapel) untuk melawannya. Tidak juga hanya sekedar kemampuan membaca dan berhitung karena penipu selalu punya modus lain untuk mengelabui mereka lagi. Menosur butuh pengetahuan yang mumpuni utk menyikapi perubahan yang terjadi di kehidupannya.

1 komentar:

inditdijakarta mengatakan...

Aku percaya kata Clifford Geertz, bahwa gesekan dengan kerikil dan pasir jalanan adalah jaminan seseorang tetap berjalan tegap...