Selasa, 18 Maret 2008

Cerita Katapel


Seorang raksasa dalam dongeng masa kecil yang di citrakan jahat yakni Goliath mungkin mengenang senjata tradisionil katapel sebagai hal yang paling ia benci dibandingkan David si pemilik katapel. Sekali jepretan pake batu dengan akurasi tinggi membuat Goliath tewas dan sejak itu ia menjadi legenda yang dikutip beragam kitab suci sebagi the hollymen yang berhasil mengalahkan ‘kejahatan’. Kisah David dan Goliath bahkan menjadi simbolisasi penyemangat kaum minoritas dan pihak kuda hitam tentang ‘mimpi’ yang bisa diraih. Katapel rupanya bersejarah dan disebut-sebut di kitab suci yang dianut milyaran manusia.

Sanggupkah David membunuh Goliath bila tak menggunakan Katapelnya? Matikah Goliath bila bukan David yang ngetapel?

Beurat pisan pertanyaannya bro, kayak filsuf. Biar gak pusing begini saja pertanyaannya bro, saya bayangin katapel david itu segede pintu dan pelornya batu segede kepala orang dewasa karena sekali ‘hajar’ raksasa bisa is death, segede apa tangan david bro? Mungkin sama ukurannya dengan betis Ade Rai, lupain analisis ngawur itu, jas kiding bro.

Yang pasti. Tentang legenda David ini ibu saya menyebutkannya sebagai Daud, dia seorang yang dipercaya oleh agama yang saya imani sebagai nabi. Orang suci saja memakai katapel sebagai senjata terbaik untuk melawan kejahatan raksasa tersebut. Tapi kenapa bro, sewaktu saya tergila-gila maen ketepel (bhs sunda red) pas lagi kecil selalu dilarang-larang atau kalau saya bedegong (bandel) tetep ngetepelin something saya suka diwanti-wanti untuk ekstra hati-hati. Itu pesan ayah saya sewaktu masih hidup. Katanya membahayakan keselamatan orang sekitar. Jadi harus jangan pake batu, mesti pake tanah ATAU yang lembek-lembek. Maklum anak kecil suka pengen tahu, maka saya menanyakan dengan kritis alasannya itu.

“Kenapa harus pake tanah liat pak?” Kata saya waktu itu dengan lugunya.
“Ya harus tanah liat karena kalau pake baso atau combro enak di orang” Kata beliau yang selalu saja saya merasa kehilangan atas kepergiannya.

Jaman itu pas saya kecil memang belum ada game-game model Play station, jaman baheula mohon dimaklum, namun saya menyukuri ke baheula-an itu. Karena saya dipaksa rada kreatif untuk membuat mainannya sendiri dari bahan yang ada, pokoknya mah bro jaman itu jaman ramah lingkungan serba alami. Dengan ketepel saya dilatih akurasi dan bergerak sambil melontarkan batu atau kelereng, dan kalo ada bapak pake tanah, sasarannya jambu atau buah-buahan tetangga, benda bergerak atau kaleng sebagai target. Saya mengasah naluriah mempertahankan diri karena ketepel,siapa tahu ada perang dengan Belanda lagi bro, sebelum merebut senjata musuh mungkin saya akan pake ketepel,

“prakk, aduh, kehed siah” maksudnya itu suara orang tak sengaja kena ketepel dan mengumpat kehed yang artinya kurang ajar alias sompret loe

Sejak kejadian itu, bapak mengambil ketepel saya dan entah sampai sekarang kemana fosil senjata masa kecil saya itu bro karena orang tersebut harus diobati ke rumah sakit muhamadyah setelah itu. Benjol dan sobek 6 jahitan dikepalanya. Bapak saya agak marah dan sejak itu saya ucapkan ‘gudbay’ buat katapel.

“Kenapa tidak nurut bapak? Kan sudah dibilang pake tanah?”
“Saya pake tanah pak”
“Lha ini buktinya orang bocor dan dia bilang pake batu”
“Memang batu pak,tapikan batu asalnya dari tanah”
(Obrolan itu diterjemahkan dari percakapan bahasa sunda)

Bapak nyerengeh alias ketawa sedikit sambil manggut-manggut,”pinter anak bapak, pinter, ciatt wadejiksss”

Namun Tuhan serba kuasa mengatur reunian saya dengan kenangan masa kecil itu. Saya kebetulan punya kerjaan bersama orang rimba di hutan Makekal, sisi barat taman nasional bukit duabelas di jambi. Katapel di sebut Peci oleh anak-anak rimba di sana, dan ngetapel dibilang memecion. Hampir semua anak punya peci dan lihay membidik apapun dan biasanya burung atau tupay, atau apapun yang penting bisa jadi lauk makan. Itulah bedanya katapel di masa kecil saya dengan memecion di anak-anak rimba. Di sini katapel adalah pola enkulturasi adat kerimbaan untuk mempertahankan keberlangsungan juga latihan diri untuk ‘perburuan sesungguhnya’. Juga saat komunitas ini direncanakan akan dikeluarkan dari hutan sebagai konsekuensi aturan zonasi taman nasional, sahabat kecil saya, penangguk dengan tegas bilang bahwa ia akan peci kepala orang yang akan mengusirnya,

“Meski kaloh tetap kami lawon”

Duh penangguk, betapa kagum saya dibuatnya. Sekecil itu ia menyadari bahwa hak-nya mesti diperjuangkan meski hanya dengan sebuah katapel, tanah liat seambung, karet bekas ban dalam bernama benen dan ubi kayu rebus.

Dedaunan basah dan setapak berlumput selama hujan, burung pun tak berbunyi, hujan membuat burung-burung itu lega sejenak, “ah damai dan amannya jiwa-jiwa kami” Demikian mungkin isi hati kaum burung di saat hujan, karena hujan membuat anak-anak rimba mengistirahatkan sejenak katapelnya untuk kembali belajar di ruma sokola. .

Tidak ada komentar: