Sabtu, 15 Maret 2008

aspirasi di bukit setan


Ini bukan cerita silat dan bukan pula cerita tentang persekutuan manusia dengan iblis, ini hanya kisah sebuah penemuan. Istilah inteleknya discovery – lihat kamus kalau-kalau salah. Kumulai saja kisah ini -- dengan seijin sahabat kecilku Sertu Tampung yang photonya aku sertakan – dan berharap apa yang sedang diperjuangkan oleh komunitasnya dimana sertu hidup berbunyi nyaring dan dibaca orang. Khususnya bagi orang yang keasikan di dunia maya. Mari sejenak turun membumi Bro.

Lima tahun yang lalu, sejak henpon dibawa-bawa ke hutan makekal, aku hanya pergunakan alat itu sebatas sebagai kalkulator atau main game. Aku nyalakan sewaktu-waktu hanya sebagai penerang saat darurat di hutan dan itu pun kalo senter ku kehabisan batere. Tak berfungsi sebagaimana mestinya itu henpon. Maap-maap saja bro tempat dimana sertu tinggal – hutan di kawasan taman nasional bukit duabelas – adalah wilayah blankspot alias gak ada sinyal.

Life goes on dan semua berubah tiga tahun yang lalu sejak ‘korporasi’ berbasis telekomunikasi meluaskan pasarnya di kota Bangko -- kota terdekat dengan wilayah hutan Makekal dimana sertu tinggal – sejak itu akibat tower sinyal berdiri dimana-mana maka sinyal henpon tanpa sengaja bisa didapatkan dengan sedikit usaha dan pencarian yang melelahkan. Pucuk-pucuk bukit adalah tempat yang kerap aku datangi untuk pencarian ini, tak selalu bawa hasil, sepanjang ada waktu luang aku selalu mencari bukit yang lain lagi.

Sampai akhirnya kutemukan sebuah bukit bernama bukit Keluhu Tetunu. Keluhu itu nama orang rimba, sementara tetunu itu artinya kebakar. Si keluhu terbakar dibukit itu, demikian cerita menurut mitos orang rimba Makekal dibalik nama bukit itu. Penemuan tak sengaja dengan sinyal ini, waktu itu saya melintas dengan motor sewaktu masuk hutan makekal sehabis ke pasar membeli logistic, tiba-tiba kudengar bunyi ‘tit’ tanda sms masuk. Setengah kaget kubuka pesan di inbox, kubaca, ah betul juga, ada sinyal di sini. Pengennya berlama-lama di situ, saya hanya reply saja karena hari mulai gelap. Perbukitan ini sering dilalui beruang yang mencari madu, aku takut dan cabut segera menuju lokasi tempatku kerja di sokola rimba.

Esoknya kukabari semua, tentang penemuan ini, semua rekan kerja ‘berbinar-binar’, lalu segera kami berangkat ke tempat itu. Berombongan di temani sahabat kecilku. Di tempat yang aku tandai aku nyalakan henponku dan langsung kucoba hubungi seseorang, nyambung bro dan diangkat. Tak segera kubalas halo darinya, aku malah jingkrak kegirangan, dan sahabat kecilku tertawa campur heran. Selanjutnya aku larut ngomong dengannya, ngomong sendiri, senyum dan ketawa sendiri, seperti orang gila kata anak-anak rimba yang mengantarku waktu itu. Waktu kusebut bahwa orng yang aku telpon sedang berada di kota Yogyakarta -- dimana dipisahkan jarak ribuan kilo terpisah laut bernama selat sunda dengan Jambi -- maka semua keheranan dan rebutan ingin ikut ngomong dengan orang yang aku telpon. “Eh tuhan kuaso, nioma bukit setan” Kata mereka yang keheranan dengan cara kerja sinyal dan henpon ini yang bekerja ibarat setan tak terlihat..

Tak ada jarak lagi kini, teknologi mengatasi kendala itu, namun aku harus menerima kenyataan lain bahwa kekuatan capital mampu menjangkau dan menerjang wilayah terpelosok sekalipun.

Hari berikutnya, berharap seperti orang luar yang memiliki henpon, anak-anak sokola rimba membuat henpon mainan dengan tanah liat, dan mencoba menirukan tingkah setiap orang saat ‘membuang pulsa’ di bukit setan.

“Begini pak kami pokonya tidak mau diusir dari taman nasional bukit duabelas, itukan hutan adat nenek puyang kami ?" Sertu beracting serius, kemudian " Apo pak? Hutan itu milik Negara? Negara mano pak? Apo gak jelas? Oh jadi sinyalnya lagi gangguan yah, nggak dengar yah? Hallow?”

Seperti itulah Sertu Tampung memimpikan aspirasinya dengan beracting lucu seolah menelpon kepala dinas kehutanan yang akhirnya tak mendengar suara Sertu karena alasan teknis gangguan sinyal. nggak denger apa nggak mau denger?

“Sertu coba telpon lagi kehutanon! mungkin kini lah sodah bagus sinyalnyo”

“Ah buang-buang pulsa bae, biarlah, sejak lamo kami bisa hidup dan menjego hutan tanpa harus ado kehutanon”

Nah lho, nggak enak kan di cuekin?

1 komentar:

lora mengatakan...

apa skrng msh dijambi? makasih ya atas ceritanya jadi ingat masa kecil.sy jg sering main ketapel cuma kurang pintar makainya.gutlak elweys ya..